Aku tak bisa menyembunyikan apa yang terjadi kepada Abah dan Umi. Untungnya, mereka memahami. Untungnya, mereka tak membenci keluarga Mas Aksa. Abah memahami apa yang terjadi pada Bapak sebagai sesama pelaku bisnis. Abah juga pernah rugi.
Mas Aksa sebetulnya tak ingin masalah internal kami bocor ke orang tuaku, tetapi, mau bagaimana lagi? Kami belum berani nyicil rumah karena pemasukan belum sepenuhnya stabil. Kalau menyewa juga eman-eman, mendingan dipakai nabung saja dananya. Mau tidak mau, tinggal bersama Abah dan Umi adalah pilihan terbaik setidaknya sampai setahun ke depan.
Aku ingin mencari pekerjaan lain di Surabaya, tapi kondisi Kaida memaksaku untuk tetap di rumah. Aku tak bisa meninggalkannya di daycare. Sulit mencari daycare premium di Surabaya yang sesuai kriteriaku. Umi tak bisa menjaganya karena bekerja. Mencari baby sitter juga aku tak setuju. Aku tak tega membiarkan anakku di rumah sendirian dengan orang yang tak kukenal. Bagiku, baby sitter lebih beresiko ketimbang daycare. Aku sudah cukup parno membaca curhatan makmak yang anaknya jadi korban baby sitter.
Sehingga, kali ini, kuputuskan untuk di rumah saja. Aku tak bekerja dan tak mendaftar kuliah dulu, setidaknya sampai kondisi keuangan kami stabil. Lagi pula, kebutuhan kami sudah cukup dengan gaji Mas Aksa. Aku ingin fokus pada penyembuhan Kaida dulu. Aku juga ingin menenangkan diri, aku ingin mendengar apa yang sebenarnya aku butuhkan, yang aku impikan.
Tapi, pilihanku ini tidak disambut baik oleh Abah dan Umi.
"Kamu, tuh, kok ya membuang peluang S2 di UI. Dapat double degree, pula! Itu kan bukan kesempatan yang mudah, Nduk,"
"Ya gimana, Bah, nanti kalau aku maksa kuliah sementara Mas Aksa di Surabaya, aku LDR, dong. Aku nggak bisa urus anak sendiri tanpa Mas Aksa."
"Ya pakai pembantu."
"Nggak mau, Bah."
"Umi aja resign suruh jagain cucunya," Abah melirik Umi. Yang dilirik hanya geleng kepala. Umi takkan semudah itu merelakan posisinya sebagai sekretaris di kantor.
"Nggak, Bah. Aya maunya Kaida selalu dekat dengan Aya dan Mas Aksa. Jangan sampe Kaida seperti Aya dulu, jauh dari abah," aku menyindir Abah.
"Ya, tapi, kan Abah jauh juga cari duit. Ya sudah, coba kamu daftar pascasarjana Unair. Masih buka, lho," Abah ternyata rajin mengecek juga.
"Nggak, Bah. Aya di rumah aja dulu. Aya pengen tenang, pengen bener-bener tahu apa yang Aya inginkan. Mungkin Aya emang nggak rezeki kuliah S2 dulu. Aya nggak mau maksa keadaan, daripada sakit hati."
“Eman, lho, Nduk. Kamu masih muda, kudu sekolah yang tinggi. Kalau kamu bisa jadi profesor, kamu bakal jadi yang pertama di keluarga besar kita," kulihat Abah begitu serius menaruh harap padaku. "Abah bisa bantu biayai kalau kamu butuh,” lanjutnya.
“Bukan soal biaya, Bah. Ini soal Kaida, soal kesehatannya.” Kujelaskan sekali lagi tentang kodisi Kaida. Tapi Abah dan Umi tak menanggapi dengan serius. Wajar, penyakit ini memang tidak kentara dan tidak populer pada generasi mereka.
Di sini aku yakin tak akan mendapat badai finansial. Abah dan Umi memiliki perencanaan keuangan yang cukup baik. Lebih-lebih, Umi adalah seorang PNS teladan yang terjamin hidupnya.
Kendati begitu, tinggal dengan Abah dan Umi membawa masalah lain yang tak kuperkirakan.
Abah kedatangan tamu pada hari Minggu, aku sedang bermain bersama Kaida di ruang tengah yang posisinya bersebelahan dengan ruang tamu.
Aku tak peduli dia siapa, tamu Abah biasanya hanya rekan bisnis. Tapi, aku terusik saat dia mulai menanyakan tentang Kaida dan aku. Tamu itu kaget melihat aku di rumah. Setahu dia, aku sedang bekerja di Jakarta. Kuduga, Tamu Abah itu sudah sering datang dan akrab dengan Abah.
“Iya, dia masih asyik momong anak. Kemarin mau kuliah di UI double degree, sudah keterima pula! Tapi, yah, dia maunya ikut suaminya balik sini,” jelas Abah.
Tamu abah itu mengangguk-angguk. “Iya, Bah, eman-eman. Anakmu pinter, lho. Sudah sering luar negeri, kerja di Jakarta. Kalau cuma di rumah aja, wah, sia-sia dong ijazahnya,” celetuk Tamu Abah.
Abah bukannya membelaku, malah menjawab, “Nggak akan sia-sia. Tak lama dia akan kuliah lagi, rencananya dia sama daftar jadi dosen. Terus, kuliah lagi S3. Yah, pokoknya sekolah terus sampai jadi profesor. Kan, belum banyak profesor hukum perempuan di Indonesia. Nanti pokoknya kalo urusan hukum, gampang, lah, sama anakku,” tawa Abah menggelegar. “Iya kan, Ay?" Abah menoleh ke arahku, meminta persetujuan.
Aku beranjak pergi, menggendong Kaida masuk ke kamar dan membanting pintu.