“Aku akan bawa kamu keluar dari sini, secepatnya.”
Sebuah solusi yang aku harapkan akhirnya meluncur dari Mas Arya, tepat setelah aku salat subuh. Kubuka kunci kamar, kubiarkan dia masuk dan memelukku erat. Semalam, ia kuminta tidur di kamar tamu. Kukatakan padanya bahwa aku butuh sendiri.
“Maaf, Ay, maaf. Aku membawamu ke pusaran masalah, maaf.”
Aku tak bereaksi. Tenagaku nyaris habis karena tangis. Mas Aksa menuntunku ke kasur, memintaku duduk dan bercerita. Kuceritakan tragedi kemarin pagi. Kukisahkan serpihan ingatan dan pengalaman buruk bersama Abah yang muncul di kepala. Peristiwa kemarin memantik semua emosi yang kupendam bertahun-tahun lamanya.
“Bertahun-tahun, Mas, aku penuhi keinginan Abah. Aku turuti kemauannya untuk hidupku. Aku selalu membicarakan dengannya apapun keputusan yang aku pilih. Giliran sekali saja aku memilih jalan sendiri, jalan untuk keluarga kita, untuk Kaida, yang juga cucunya, Abah menolak. Abah malu akan keputusanku. Aku merasa sia-sia, tak adil. Aku merasa hidup seperti boneka tangan. Aku nggak pernah cukup untuk Abah….”
Belum selesai aku bercerita, ponsel Mas Aksa bergetar. Lebih dari 3x, sudah pasti itu telepon. Mas Aksa mendesah, terlihat kesal.
“Assalamualaikum, Bu.”
Ya Allah, apa lagi yang akan aku dengar hari ini? Aku sangsi Ibuk menelepon subuh-subuh begini untuk sekadar basa-basi.
Aku tak meminta telepon di-loudspeaker. Mas Aksa pun tak melakukannya. Kurasa dia tahu, ini bukan saat yang tepat untuk menguping pembicaraan. Posisiku agak jauh darinya. Aku sedang bersandar di kursi sementara Mas Aksa di kasur, berada di dekat Kaida yang masih tertidur pulas. Aku tak mendengar apapun dari seberang selain logat Ngapak yang kental.