Dia datang membawa kotak putih yang kukenal. Isinya perban dan obat-obatan. Mas Aksa membersihkan darah yang masih menempel di punggung tanganku, mengelapnya dengan antiseptik, lalu menutupnya dengan plester.
“Kumohon, Ay, jangan begini. Please,” ia menangis. Air matanya membasahi tanganku yang masih menempel di bibirnya.
“Aku butuh kamu saat ini. Tolong temani aku ke Bank, ya, Ay. Kita cairkan lebih awal tabungan perencanaan kita,” Mas Aksa masih menatap mataku.
Tabungan perencanaan kubuat atas namaku. Dia akan otomatis masuk ke rekeningku bulan depan, tetapi, Mas Aksa ingin mencairkannya sekarang. Pasti untuk membantu Bapak.
✨ ✨ ✨
“Ke depannya, mungkin kita perlu atur prioritas. Pertama, kita tinggal serumah dulu, ya. Gajiku fokus untuk hidup sehari-hari dulu, menabung sebisanya saja.”
“Terserah Mas.”
“Sayang,” ia membelai kepalaku lalu meremas lembut rambut yang aku kuncir satu. Aku tak mungkin mengurainya dengan potongan rambut yang tak rata. “Tolong jangan habiskan rambutmu, ya, tolong hal yang tadi pagi jangan kejadian lagi.”