Kaida seperti tahu suasana hatiku. Dia tak mau makan hingga aku terpaksa mencubitnya berkali-kali. Dia menangis, tentu saja. Teriakannya membawa Umi menghampiriku. Umi mengambil alih menyuapi Kaida, memintaku untuk beristirahat di kamar. Aku lakukan saran Umi. Bertengkar dengan Mas Aksa membuat badanku agak panas. Lagi-lagi, aku merasakan perih di perut seolah aku sakit maag. Padahal aku makan teratur.
Hari minggu Abah tak ada di rumah. Ia mengurus bisnis villa-nya di Kota Batu. Rumah menjadi sangat sunyi. Aku dan Mas Aksa tak lagi tidur bersama. Ia di kamar tamu, aku di kamarku sendiri. Aku memutuskan untuk tak bicara dengannya. Aku pernah berapa kali berdebat dengan Mas Aksa, tetapi pertengkaran kali ini adalah yang terparah.
Umi mengetuk pintu kamarku. Kuizinkan beliau masuk membawa Kaida.
“Nduk, Umi mau bicara,” beliau duduk di kasur, tepat di hadapanku.
“Atas nama Abah, Umi minta maaf.” Kalimat Umi membuat aku berkaca-kaca.
Aku membayangkan keriuhan malam itu, adu mulut antara aku dan Abah yang tak terhindarkan. Bertahun-tahun aku tak pernah mencari keributan dengan Abah. Bertahun-tahun hubungan kami nyaris tanpa konflik berarti. Mungkin karena itulah kami tak belajar untuk bertumbuh, tak berlatih untuk saling mendengarkan dan menghargai.
Terbukti dari buruknya komunikasi di keluarga kami, sampai-sampai Abah yang selalu mendikteku, tak mampu mengucap kata maaf padaku. Untuk sekadar meminta maaf saja, harus Umi yang menyampaikan.
“Abah cuma mau yang terbaik buat kamu, nggak bermaksud menekan kamu. Abah hanya nggak ingin kamu seperti Abah, susah jalan rezekinya.”
“Susah gimana, sih, Mi? Abah pekerjaannya kan, bagus, lancar semua. Abah tuh workaholic sejak kecil, lihat rumah ini, lihat kekayaan Abah dan Umi. Semua selalu Abah kejar sampai-sampai tak pernah meluangkan waktu untuk sekadar mengambil rapot Aya saat sekolah dulu,” aku membantah perkataan Umi.
“Maksud Abah, jalannya itu, lho, Nduk. Kan nggak mulus. Kamu tahu sendiri Abah kecelakaan dan harus berhenti dari jabatannya di Bank Negara. Gara-gara itu, dulu pendapatan keluarga kita sempat menurun. Bahkan sempat hanya mengandalkan gaji Umi. Bisnis Abah sekarang ya bisa untung karena Abah sudah pernah berkali-kali merugi,” jelas Umi.
Aku mengingat waktu itu. Aku masih kelas 3 SMA saat Abah kecelakaan dan punggungnya mengalami skoliosis. Abah memilih berhenti dari pekerjaannya karena harus terapi selama satu tahun. Seingatku, setelah itu Abah menekuni beberapa bisnis, mulai dari bisnis cafe, ternak, hingga sekarang Abah memilih fokus di bisnis properti. Bisnis ini sudah berjalan sejak tahun 2012 hingga sekarang.
“Abah hanya ingin kamu punya pendapatan yang baik, stabil, tak kesusahan seperti sekarang ini,” lanjut Umi.