Di kedai itu—tempat Haryadi, seorang sipir yang baru diangkat menjadi PNS mentraktir teman-teman kerjanya—ada seseorang yang merasa sakit hati. Orang itu adalah Sutopo, atau biasa dipanggil Pak Topo oleh rekan-rekannya yang sopan, dan Pak Topi oleh rekan-rekannya yang kurang ajar. Dia sedang duduk bersama teman-temannya yang lain di salah satu meja panjang milik kedai.
Sutopo sakit hati bukan karena keberhasilan Haryadi naik pangkat. Meski tak dapat dimungkiri bahwa dia iri. Dia sudah menjadi sipir di lapas itu selama hampir dua puluh tahun. Namun, dia belum juga diangkat menjadi PNS. Sedangkan Haryadi yang baru bekerja selama tiga tahun langsung mendapat promosi dari Pak Rudi, kepala penjara tempat Sutopo bekerja. Pada tahun itu, untuk menjadi pegawai negeri caranya amat mudah. Hanya butuh rekomendasi dari atasan. Ujian dilakukan sebagai formalitas semata.
Tahun kemarin banyak kawan Sutopo yang diangkat menjadi pegawai negeri. Mereka dipilih karena memiliki satu pandangan politik yang sama. Mereka diharap memilih presiden dari partai yang ditunjuk. Bagi mereka yang sudah memiliki gelar pagawai negeri, tetapi tidak mau memberikan suaranya untuk partai tersebut saat pemilihan, mereka terancam dimutasi.
Sutopo bukannya menolak ikut salah satu partai. Hanya saja dia tak begitu mengerti tentang politik. Sebenarnya dia tak keberatan memilih presiden dari partai tersebut. Sebab, baginya semua partai sama. Akan tetapi, tetap saja dia tak dipromosikan oleh Pak Rudi. Apa alasan sang atasan tak memasukkan namanya ke dalam daftar sipir yang akan diangkat menjadi PNS? Entah, dia tak tahu. Dia merasa tak memiliki masalah pribadi dengan siapa pun, termasuk dengan Pak Rudi. Kalau dibilang tidak adil, tentu hal tersebut tak adil baginya. Maka dari itu, dia merasa sakit hati. Dia kecewa kepada Pak Rudi. Walaupun demikian, apa yang bisa dia lakukan? Tak ada. Sutopo hanya seorang pegawai rendahan.
Lelaki bertubuh kurus itu menghela napas panjang. Mangkuk jatah mi ayamnya masih penuh. Perutnya terasa kenyang, padahal sejak tadi siang dia belum makam.
“Kok nggak dimakan, Pak?” Mendadak, Haryadi menepuk bahunya. Lelaki muda itu membungkuk supaya kepalanya sejajar dengan kepala Sutopo yang sedang duduk. “Apa mau saya pesankan menu lain?”
Sutopo segera menggeleng. Dia menggoyangkan tangannya secara heboh. “Enggak-enggak!” Lelaki itu berusaha tersenyum dan menjelaskan, “Kebetulan aku tadi sudah makan. Kalau boleh, aku minta mi jatahku dibungkus saja?”
Haryadi balas tersenyum. Dia menegakkan punggung dan berkata, “Nanti saya pesankan mi ayam lagi untuk dibawa pulang. Nah, mi yang sudah terlanjur disajikan, monggo habiskan saja. Pokoknya, hari ini Pak Topo boleh makan sepuasnya.” Dia lalu menatap rekan-rekannya yang lain dan menambahkan, “Kalian kalau mau tambah, silakan. Malam ini saya yang akan bayar semuanya.”
Seketika, sorak-sorai menggema di kedai itu. Seseorang berharap dengan lantang, supaya Pak Rudi sering-sering mengangkat sipir menjadi PNS agar ada yang mentraktirnya setiap hari. Kata-katanya segera disambut tawa oleh teman-temannya yang lain.
Supri, kawan Sutopo yang duduk di sampingnya setengah bangkit, menyalami Haryadi dengan semangat. Temannya yang lain kemudian melakukan hal yang sama. Bahkan, beberapa ada yang berebut tangan pemuda itu.
Dengan keengganan yang berhasil ditutupi, Sutopo juga bangkit. Dia menyalami Haryadi, mengucap terima kasih dan selamat atas kenaikan pangkatnya. Dia tersenyum walau hati sedang menangis. Kemudian, saat kembali duduk, dia tersentak menyadari perasaannya. Dia menyesal karena iri pada lelaki muda itu.
Seharusnya, dia bisa lebih legowo. Justru karena Haryadi masih muda sudah sepantasnya mendapat promosi. Tenaga pemuda itu masih kuat, tidak seperti dirinya yang sudah loyo. Negara lebih membutuhkannya. Dengan kesadaran itu, Sutopo mencoba ikhlas. Dia meyakinkan diri, mungkin tahun depan, atau malah lima tahun lagi, dialah yang akan diangkat menjadi PNS. Sutopo harus sabar.
Selepas Haryadi kembali duduk di ujung meja, Supri mendekatkan kepalanya ke arah Sutopo. Dia berbisik, “Kukira kamu yang mendapat promosi agar diangkat menjadi PNS.”
Sutopo tak menanggapi. Kepalanya menunduk, memainkan mi dengan garpu. Bahunya melorot lesu. Dia juga mengira hal yang sama sebelumnya.
“Terus terang,” bisik Supri lagi, “dari angkatan kita, hanya kau yang belum diangkat PNS. Adi, Prapto, aku, semua sudah berstatus PNS.”
Usia Supri lebih muda tiga tahun dari usia Sutopo. Namun, mereka menjalani diklat bersama dan masuk menjadi sipir di lapas itu dalam tahun yang sama. Jadi, dia beranggapan bahwa mereka satu angkatan.
Masih sembari mendekatkan kepalanya, Supri menambahkan, “Adi memang dipindah ke lapas lain, tetapi dari kabar yang kudengar, dia diangkat menjadi kepala sipir. Prapto sudah jadi PNS, naik pangkat dua kali malah. Aku juga sudah, walau masih berada di golongan paling bawah. Lah, kamu?”
“Sudahlah,” Sutopo balas berbisik. Duduknya menjadi tak tenang. Beberapa detik lalu, dia sudah mengikhlaskan keputusan Pak Rudi. Dia tak mau hatinya kembali goyah karena hasutan.
Supri melirik Haryadi yang kini dikelilingi rekan-rekannya yang lain. Dia melihat pemuda itu sedang sibuk meladeni basa-basi para sipir yang tak ada habisnya. Mereka bersikap sok kenal, sok ramah, dan sok-sok lainnya. Dia membatin, mereka bersikap seperti itu pasti ada maunya. Diam-diam, dia menggeser kursi, mendekati Sutopo. “Kamu nggak mau protes?” tanyanya.