Hari belumlah genap pukul lima pagi ketika Sutopo meraih seragam dari balik pintu kamar. Dengan jemari kurus, dia mengancingkan kemeja berwarna biru muda itu dari bawah, satu persatu. Dia memasukkan ujung kemejanya ke dalam celana sebelum mengencangkan sabuk. Setelah menyematkan pentungan ke sabuk, secara perlahan, dia keluar kamar. Dia tak mau membangunkan istri dan bayinya yang masih terlelap.
Sutopo melangkah pelan ke ruang depan. Lantai rumahnya terbuat dari papan. Jadi, agar tidak menimbulkan suara, dia mesti melangkah dengan hati-hati. Dia sempat mengintip kamar anak sulungnya sejenak sebelum keluar rumah, mengenakan sepatu, membuka rantai yang mengikat sepeda dan mengendarainya ke sebuah tempat.
Lelaki itu tahu bahwa mungkin tempat yang akan dikunjunginya belum buka. Namun, dia tak memiliki pilihan. Dia harus sudah pulang dari tempat itu sebelum Totok berangkat sekolah.
Udara terasa menggigil ketika Sutopo mengayuh sepedanya ke jalan kampung. Rambutnya yang pendek berkibar pelan di belakang telinga. Giginya bergemeletuk saat angin menerpa wajahnya. Semburat cahaya tampak dari cakrawala, membantu matanya menganalisa jalan hingga dapat menghindari lubang. Ayam-ayam mulai berkokok, menambah semarak pagi itu. Dia terus mengayuh sepedanya ke jalan besar, kemudian berbelok ke gapura yang menandai batas desa, melewati gang demi gang, dan berhenti di halaman sebuah rumah di tengah kampung. Seperti yang diduganya, pintu rumah itu masih tertutup.
Selepas memarkir sepeda, Sutopo mengetuk pintu rumah. Rumah tersebut lebih besar ketimbang rumahnya. Dindingnya pun sudah terbuat dari bata. Tidak seperti rumahnya yang masih dari papan.
Tak lama kemudian, seorang lelaki berperut buncit membukakan pintu. Dia hanya memakai singlet dan sarung. Rambutnya yang acak-acakan menjadi penanda bahwa dia baru bangun. “Sutopo!” pekiknya terkejut. “Ada apa pagi-pagi begini datang kemari?”
“Anu ....” Sutopo ragu-ragu mengutarakan niatnya. “Maaf kalau aku merepotkan. Sebenarnya ....”
Kening Agus--lelaki berperut buncit tersebut--mengerut. Dia menunggu tamunya dengan sabar.
“Sebenarnya, aku ingin minta tolong.” Sutopo teringat wajah anak dan istrinya yang masih tidur tadi. Mereka tampak bak malaikat. Dia tak ingin malaikat-malaikat itu merana dan mati karena kelaparan. Jadi, dengan menepis keraguan, dia berkata, “Aku ingin berutang sembako, kalau boleh.”
“Oalah .... Kupikir ada yang meninggal.” Agus lantas berbalik ke dalam rumah. “Sebentar ya, Po. Aku ambil kunci warung dulu.”
Sutopo menunggu di depan pintu. Samar-samar, dia mendengar Romdiah, istri Agus, bertanya kepada suaminya siapa yang datang dan apa keperluannya. Dia juga mendengar wanita itu menggerutu.
“Kok ya pagi-pagi begini, sih! Emangnya kalau nunggu jam delapan, istri dan anaknya bisa mati? Dasar!”
“Hus! Dik! Jangan keras-keras.”
“Lagian, kenapa nggak utang di warung dekat rumahnya aja dan malah jauh-jauh sampai ke sini? Pasti di sana ditolak karena sudah kebanyakan utang.”