Keyakinan Sutopo untuk protes kepada Pak Rudi ibarat selembar tisu yang jatuh ke permukaan danau. Dengan satu entakan dari seekor ikan, tisu itu terbelah dan amblas ke dalam air. Hal itu dia rasakan ketika memasuki gerbang lapas bersama sepeda bututnya. Padahal, selama perjalanannya dari rumah tadi, dia sudah membulatkan tekad untuk protes kepada Pak Rudi.
Meski dia sudah mengganti kata protes menjadi lebih halus, yaitu bertanya, tetap saja ketika melihat jendela belakang kantor Pak Rudi yang setengah terbuka, nyalinya menciut. Dia takut dianggap lancang karena berani meragukan keputusan atasannya. Alhasil, dia mengurungkan niat. Mungkin besok saja protesnya, batinnya, karena sekarang Pak Rudi sepertinya sedang menerima tamu. Dia tak mau mengganggu. Namun, saat besok datang, dia mengundur niatnya lagi menjadi lusa. Dan ketika lusa datang, dia menundanya lagi sampai entah kapan. Dia selalu mencari alasan.
Di parkiran, kening Sutopo mengernyit saat melihat sebuah mobil yang tak asing baginya berdiri di sana. Dia merasa kenal dengan mobil itu karena pagi tadi nyaris menabraknya. Namun, dia tak seratus persen yakin. Sebab, pagi tadi dia tak sempat melihat nomor polisi mobil yang membuatnya jatuh. Bahkan, warna platnya pun ia lupa.
Mobil yang ada di depannya itu memiliki warna plat merah. Artinya mobil tersebut merupakan mobil dinas. Dilihat dari warnanya yang mengilap, bodinya yang bersih, kacanya yang gelap, dia yakin mobil itu merupakan mobil mahal. Tak sembarang pegawai pemerintahan mendapat mobil sebagus itu sebagai kendaraan dinas. Sutopo menduga pemakainya pastilah orang yang sangat berpengaruh di negeri ini.
Keyakinannya bertambah kuat saat Pak Rudi keluar dari pintu utama lapas bersama seseorang laki-laki berbadan besar serta gagah. Dari gesturnya, Pak Rudi begitu menghormati orang tersebut. Padahal, ditilik dari usianya, jelas orang tersebut lebih muda.
Dari jauh, wajah orang itu kelihatan kaku. Kepalanya nyaris pelontos. Dia memakai kaus hitam yang memperlihatkan otot lengannya. Celananya memiliki banyak kantong. Sepatunya merupakan sepatu bot, dan tampaknya terbuat dari kulit asli.
Pak Rudi berbicara sembari menunduk kepada laki-laki tersebut. Dia juga mengangguk sopan saat laki-laki itu berkata. Dia bahkan mengantar laki-laki itu ke parkiran, menghormat sebelum laki-laki itu masuk ke mobil, dan tak pergi sampai mobil laki-laki itu keluar gerbang lapas.
Sutopo tak berani bertanya siapa laki-laki yang karismanya mampu membuat Pak Rudi begitu terintimidasi. Dia hanya mengangguk singkat untuk menyapa sang kepala penjara, lalu terdiam saat menyaksikan atasannya balas mengangguk dan berbalik kembali ke dalam lapas.
Supri yang baru datang segera menepuk pundaknya. “Ngelihatin apa sih, Po? Kok sampai segitunya?”
Sutopo menggeleng. “Enggak.” Dia mengambil tas dari boncengan sepeda dan melangkah ke pintu utama.
“Udah, protes sana,” bujuk Supri mengikuti. “Sebaiknya bicara selagi bisa.”
Sutopo merengut. “Apa maksudmu?”
“Seperti kata Warkop, tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Jadi, bicaralah sebelum bicara itu dilarang.”
Sutopo mendecakkan lidah. Dia melewati pintu besi yang setengah terbuka. Seorang petugas memeriksanya dengan teliti. Walau sudah sering masuk dan keluar lapas, tetap saja dia wajib menjalani pemeriksaan. Saking ketatnya aturan lapas, petugas itu sampai meraba tubuhnya untuk memastikan tak ada barang terlarang yang diselundupkan. Padahal dia adalah sipir, bukan tahanan. Sutopo maklum. Sebab, itu sudah menjadi prosedur yang tak bisa ditawar, kecuali jika dia Presiden Suharto. Sang petugas pasti tak berani memeriksanya. Berdekatan satu meter saja petugas itu bakal pingsan saking takutnya.
Setelah selesai diperiksa, Sutopo tak langsung masuk. Dia menunggu Supri dan berjalan bersama ke pos jaga.
Ada tiga pos penjagaan di lembaga permasyarakatan tersebut. Yang pertama adalah pos pintu utama. Di sana para penjaga dibekali senjata. Tugasnya tentu saja memeriksa siapa pun yang lewat, baik masuk maupun keluar. Pos kedua adalah di menara. Di sana para penjaga dibekali senjata laras panjang. Tugasnya mengawasi para tahanan dari atas. Fokusnya kepada tahanan yang bekerja di luar lapas. Dan yang terakhir adalah penjaga blok hunian, tempat Sutopo dan Supri bertugas. Merekalah yang berhubungan langsung dengan para tahanan.