Seorang perempuan berusia sekitar tiga belas tahun memasuki ruangan. Langkahnya terhuyung-huyung, wajahnya pucat, sejurus kemudian ia menjatuhkan diri begitu saja ke atas kasur, menenggelamkan wajah pada bantal.
Gita memperhatikan sejenak sang adik yang sesegukan, lantas melanjutkan kegiatan belajarnya. Itu pemandangan yang sudah biasa ia lihat, paling-paling anak itu mendapat siraman rohani dari mama dan papa.
"Jahat! Mereka jahat!" jerit Niken akhirnya, kesal tidak kunjung ditanya.
"Siapa suruh main tanpa izin, ambil uang mamah gitu aja, pulang malem pula. Itu sih kamu yang minta diomelin," ketus Gita tanpa menoleh.
"Kok, Kak Gita malah ikut-ikutan omelin aku!"
"Lagian kamu udah segitu seringnya diomelin karena kesalahan yang sama, kok nggak pernah kapok? Kesalahan diulang-ulang terus, itu otak atau batu, sih!"
Bibir Niken semakin mencebik. "Jahat! Kalian semua memang jahat! Ternyata dugaanku selama ini benar ... aku anak tiri, makanya kalian bisa sejahat ini sama aku!"
Kali ini Gita memutar tubuh dengan sebelah alis terangkat. Namun, sang adik sedang bersimpuh di kasurnya dengan jari-jari yang bertautan.
"Ya Tuhan, di manakah keluarga kandungku. Tolong pertemukan aku dengan keluarga kandungku, aku kangen mereka," isaknya.
Gita menepuk dahi. "Ngomong apa sih ini anak!"
Gadis itu menarik sang adik ke sebuah cermin rias, lalu memaksa pipi mereka menempel satu sama lain. Menunjukkan wajah yang seperti pinang di belah dua. Bedanya, yang satu lebih kecil, satunya lebih besar.
"Masih mau bilang kamu anak tiri?"
Sepertinya Niken sudah kepalang dongkol. Ia menepis rangkulan Gita, lantas melompat kembali ke kasur dengan posisi telungkup. Beberapa detik kemudian suara dengkuran terdengar, yang tentu saja membuat Gita menjambak rambut, frustrasi.
***
Suasana makan malam hari ini terasa sangat canggung, Mama dan Papa yang biasanya mengocehkan segala hal tiba-tiba diam seribu basa. Niken yang selalu makan paling lahap, malah tidak menyentuh makannya sama sekali. Sementara Gita juga susah payah menelan makanannya, padahal menu di hadapan mereka sangat lezat. Semua ini akibat ulah Niken yang ketahuan menunggak SPP, padahal mama tidak pernah absen memberikannya tiap bulan.
Ketika makan malam selesai, mama sengaja hanya mengucapkan selamat malam kepada Gita, sambil mengelus kepalanya pula. Wanita itu tidak mau menatap Niken sama sekali seharian ini, melirik pun tidak. Begitu sampai kamar, lagi-lagi anak itu menelungkupkan diri pada kasur, dan seperti kebiasaannya yang menjengjelkan—Merengek.
"Kenapa, sih, mama dan mapa benci banget sama aku?" lirihnya. "Mereka keterlaluan jahatnya!"
"Jahat kenapa? Kan mama sama papa nggak apa-apain kamu."
"Justru itu! Kok mereka tiba-tiba cuekin aku? Emang aku setan? Mereka nggak pernah mikirin perasaan aku!"
"Tiba-tiba?" Tanpa sadar Gita meninggikan suara. "Uang SPP kamu kemanain sampai nunggak berbulan-bulan begitu? Pas mama dan papa marah kamu bilang tiba-tiba? Isi otak kamu apa, sih!"
"Kalau nggak mau dimarahi, yang jangan buat salah! Kamu setiap hari bikin kesalahan, pas dihukum malah bilangnya mama dan papa jahat. Sebenernya yang jahat itu kamu! Kamu selalu bikin mama dan papa susah!"
Mata Niken berkaca-kaca, sepertinya terpukul dengan amarah kakaknya barusan. Anak itu balik badan, menyembunyikan wajah pada dinding. Punggungnya bergetar, sesekali napasnya sesegukan.