Impy Island

Impy Island
Chapter #38

Salam 20 Tahun

“Selamat pagi. Bagaimana kabarmu hari ini?” Satu lagi ikat bunga yang menggantikan bunga-bunga layu di dalam vas akibat air yang luput diganti berhari-hari. Padahal sudah sering orang-orang itu diingatkan untuk menggantinya secara rutin.

“Baik? Aku juga. Ah, sebenarnya hari ini tidak terlalu baik. Kau tahu ... seperti biasa Lory membuat hariku tidak terlalu baik.” Boneka-boneka yang warnanya membias di sisi kanan lantaran terlalu sering terkena cahaya matahari ikut mendengarkan percakapan dua gadis tersebut. “Andai kau di sana saat itu, mana mungkin dia berani macam-macam.”

Derit roda beradu dengan lantai dingin terdengar lewat silih berganti, menginteruspi percakapan mereka. Dinding putih memanjakan mata, gorden hijau muda dengan renda yang sekarang terikat rapi. Agak menakutkan tapi juga damai, membuat siapa pun betah berlama-lama, tapi di sisi lain ingin segera pergi dari sana supaya terbebas dari aroma menyengat karbol. Di sisi kiri ranjang, terdapat monitor kecil-tinggi. Suara bip-bip mengiringi garis naik-turun yang entah apa artinya. Paling tidak semua itu menandakan bahwa gadis di atas ranjang masih bersama mereka.

“Aku berusaha melawan, tapi kau tahu aku. Dan Lory jelas tidak takut dengan pelototanku, dia tidak tersentak dengan gertakanku. Hanya gertakan dan pelototanmu yang pasti ditakutinya. Pesonamu bisa mengalahkannya dan melindungiku ....”

Tabung-tabung oksigen bergeming, melaksanakan tugas terpenting dalam ruangan tersebut. Perlahan, sebelah tangan terulur demi mengelus rambut pirang sebahu milik gadis di atas ranjang. Agak kering, sudah sangat lama sejak terakhir kali kepalanya tersentuh conditioner. Padahal dulu segala urusan rambut adalah hal paling krusial baginya. Itu alasan mengapa rambutnya bisa seindah sutera. Sebuah senyum terukir, sebutir air mata pun menetes tanpa permisi.

“Makanya, kapan kau mau bangun?”

***

Dia akan baik-baik saja! Kami pernah melalui masalah yang lebih besar dari ini!

“Aku khawatir dia tidak sedang baik-baik saja.”

“Bagaimana keadaannya, Dok?”

Pria berjubah putih itu mengusap keningnya yang berlipat. “Trauma di kepalanya terlalu parah dan syaraf terpenting di sekitar tengkuknya terkena dampak paling fatal.”

Pasangan suami istri paruh baya di seberang meja dokter pun saling menguatkan genggaman. “Apa yang bisa kita lakukan!”

“Kami telah melakukan segala yang kami bisa. Sekarang biarkanlah dia tertidur demi pemulihan bertahap.”

“Kapan dia bangun?”tanya sang istri tak mampu menyembunyikan segala kesedihan dalam nada suaranya.

“Tidak ada yang tahu. Berdoalah.”

Tiga orang di dalam ruangan sang dokter akhirnya keluar. Siapa pun bisa menebak dari air wajah ketiganya bahwa mereka hancur, meskipun tidak ada yang bisa berkata-kata. Wanita paruh baya menoleh kepada gadis muda di sebelahnya. Sebuah senyum tulus tersungging meski mata berkaca-kaca.

“Terima kasih sudah mengabari, Hadley. Kau yakin baik-baik saja?” Pertanyaan itu bukan diajukan untuk perban di siku dan dagunya yang masih basah. Lebih kepada bagaimana perasaan gadis itu mengenai sahabatnya yang mungkin tertidur untuk waktu lama.

“Aku baik, Bi.” Jawaban bohong yang tersampaikan dengan buruk. “Orang tuaku dalam perjalanan ke sini.”

Mereka berpelukan cukup lama dalam dekapan yang begitu erat. Keduanya kehilangan sosok yang begitu mereka cintai. Seorang sahabat juga anak semata wayang. Begitu selesai, pria di dekat mereka mengangguk dengan air muka serupa. Pasangan suami-istri itu melangkah pergi ke kamar sang putri tidur, sementara Hadley duduk menunggu orang tuanya. Sambil memutar ulang apa yang baru saja terjadi. Tur kenaikan kelas yang seharusnya menyenangkan justru berakhir tragis.

Segalanya terjadi begitu cepat. Tawa kebahagiaan, benturan keras, sampai teriakan penuh horor, sebelum semuanya gelap total. Hadley terbangun akibat panasnya sorot lampu putih. Telinganya terganggu akibat deru heboh helikopter, serta rintihan teman-teman yang terluka . Tidak ada korban jiwa, tapi dampak yang ditimbulkan cukup parah. Sayangnya, dampak paling parah diterima oleh sahabat sejak kecilnya, Fallon.

***

“Selamat pagi, bagaimana kabarmu pagi ini, Fallon?” sapa Hadley seperti biasa. “Baik? Aku juga.” Gadis itu menarik kursi ke samping sahabatnya, memegang tangan kirinya dengan hati-hati. Menggosoknya perlahan agar tangan itu tidak terlalu dingin.

Lihat selengkapnya