Impy Island

Impy Island
Chapter #45

Broken Pieces

“Akuilah, kita tidak saling mencintai. Tidak pernah dan tidak akan.” Pria itu bergumam, tatapannya lurus ke luar jendela, entah apa yang begitu menarik baginya di langit gelap gulita.

“Kita tidur satu ranjang seperti saudara selama hampir 20 tahun. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali kita saling merangkul.” Dia melanjutkan. Kali ini menoleh pada wanita anggun berwajah tegas persis di sebelahnya.

“Kita pikir kelahiran Canza bisa menumbuhkan kembali cinta yang telah layu. Nyatanya, tidak ada perubahan di antara kita.” Pria itu masih bicara sebab mulut wanita di sebelahnya tertutup rapat.

Manik cokelat gelap wanita itu mengerling, terlihat berkaca-kaca. “Kita atau kau sendiri?” Nada suaranya bergetar. “Kita pernah menjadi keluarga bahagia, Davin. Kau tidak bisa menghilangkan kenangan indah begitu saja!”

“Kapan, Frida? Pernahkah kita bertukar senyum kalau bukan di hadapan kolega kerja? Pernahkah kita saling mencium pipi kalau itu bukan untuk halaman depan majalah?”

Pria itu menggeser posisi duduk sehingga kini keduanya berhadapan, ia menggenggam lembut tangan sang istri, tapi siapa pun yang punya mata bisa melihat bahwa mereka bukan sedang bercakap-cakap romantis, melihat betapa tegang wajah dua insan itu.

“Kau tahu suatu malam setelah kita berdebat parah. Aku pergi ke kamar Canza sebab aku merindukannya, tapi dia tidak ada di sana. Dia ada di kamar Jeremy. Mereka berpelukan seperti berang-berang. Keesokan harinya aku bertanya pada Canza, kenapa dia pindah ke kamar abangnya. Kau tahu dia menjawab apa? Dia bilang ‘takut mendengar papa dan mama berteriak lagi’.”

Sebutir air menetes dari mata sang istri, wanita itu tidak tahan menatap mata suaminya yang juga berkaca-kaca. Oleh sebab itu ia menatap ke arah lain.

“'Lagi', Frida! Bukan sekali dua kali dia mendengar kita bertengkar, tapi nyaris setiap malam. Itu hal paling menyakitkan yang pernah kudengar dari putri kecilku.”

“Kita bisa perbaiki ini, Davin!” tutur wanita itu, menguatkan genggaman tangannya pada sang suami. “Aku akan berusaha menjadi ibu yang baik! Aku akan lebih sering di rumah! Apa pun akan kulakukan asal kau tidak meminta hal itu.”

Davin susah payah menyunggingkan senyum. “Kau memang ibu yang baik, Frida. Meskipun sibuk, kau selalu ada untuk anak-anak setiap kali mereka membutuhkan, kau membuat keluarga ini hangat di mata semua orang. Tapi kau dan aku tahu betul kalau kita tidak bisa hidup seperti ini terus.”

“Setidaknya bertahanlah untuk anak-anak.”

“Aku sudah bertahan terlalu lama, Frida. Aku lelah terus membicarakan ini setiap saat kita bertatapan. Berteriak satu sama lain tanpa menemukan titik terang, lantas malam membuat kita melupakannya sampai itu terulang lagi di esok hari.”

Untuk sedetik, air wajah Frida begitu murung, napasnya mulai berat. Namun, detik selanjutnya wajah tirus itu kembali menegang, rahangnya mengeras seiring ia bangkit menunjuk sang suami penuh tuduhan.

“Kau melakukan ini karena wanita penggoda itu! Apa saja yang sudah kalian lakukan? Apa yang telah dia lakukan sampai mengubahmu menjadi seorang bajingan!”

“Jaga bicaramu, Frida!” Davin ikut bangkit penuh amarah. “Kami tidak pernah melakukan apa-apa. Dia wanita terhormat, dan aku pun bukan pria berengsek. Kau sendiri mengakui itu, bukan?”

Wanita itu berdecih seraya memalingkan wajah. Ya, dia mengakuinya. Meskipun sakit hati memenuhi dirinya, tidak dapat membantah bahwa Davin adalah pria terhormat dan paling loyal dari seluruh pria di dunia. Tangan sang suami terulur menggenggam kedua bahunya, memaksa mereka kembali berhadapan.

“Jujurlah, Frida. Perasaanmu saat ini adalah kesedihan terhadap perceraian kita. Atau takut pada gosip buruk yang akan menyebar tentang perceraian kita nantinya!” Manik kebiruan Davin menyorot begitu tajam. “Keluarga kaya paling harmonis bercerai, skandal, buah bibir di yayasan, bisik-bisik tidak enak. Kau hanya takut dengan semua itu, bukan?”

“Bagaimana denganmu? Maukah kau jujur padaku?” ketus Frida, sebab ia tak mampu menjawab betapa benarnya pernyataan sang suami.

“Aku tidak pernah bohong padamu. Tidak sekali pun.”

“Kau mencintai wanita itu?”

“Ya, aku mencintainya.”

Frida mendengkus sebelum menangis tersedu-sedu. Kakinya terasa lemas. Sakit hatinya berdasar dari dua cabang berselisihan. Satu, reputasi di yayasan. Dua, bagaimana mungkin wanita tidak berpendidikan bisa merebut Davin dari orang sepertinya. Di sisi lain, ia merutuki diri, kenapa dari sekian banyak alasan untuk menangis, tidak satu pun tertuju pada cintanya kepada Davin.

“Aku tidak pernah mengekangmu untuk melakukan apa pun, dan sekarang aku minta hal yang sama darimu,” lanjut Davin seiring langkahnya menuju pintu. “Kita sudahi sandiwara keluarga bersahaja ini agar tidak ada lagi sakit hati, atau kepalsuan.”

***

Apa yang salah?

Frida berdiri menghadap cermin dengan mata sembap. Kalau dipikir-pikir, Frida adalah wanita yang sempurna. Cantik, pintar, kaya, bersahaja, dan disegani semua orang. Pernikahannya bersama Davin membuat seluruh dunia percaya bahwa kesempurnaan memang nyata. Keluarga bahagia, ayah yang tampan, ibu yang cantik, anak-anak yang manis dan berbudi baik, juga rumah sebesar istana.

Lantas, apa yang salah?

Lihat selengkapnya