Orang-orang sering menyebut kata kuno sebagai kritik belakangan ini. Kau seorang laki-laki yang memakai celana panjang, maka kau kuno. Kau memilih berjalan kaki ke toko yang berjarak lima blok dari rumah, maka kau kuno. Kau hanya punya satu teman alih-alih sepuluh, maka kau kuno. Kuno seperti sebuah standar, dan tampaknya orang-orang tidak seharusnya menjadi demikian.
“Ayolah, Evy! Perempuan tidak harus selalu hobi masak, itu pemikiran kuno.” Dawn bicara selagi mulutnya dipenuhi kukis cokelat yang diambilnya dari loyang panas.
“Aku suka memasak,” jawab Evelyn sambil membersihkan tangan dari tepung. “Dan jangan bicara seolah kau bukan yang paling doyan masakanku.”
Dawn memutar bola mata. “Poin bagus, tapi merajut dan menjahit? Di zaman sekarang perempuan bisa melakukan lebih dari itu. Kita bisa memancing, mendaki gunung everest, angkat besi, bahkan pergi berperang.”
“Kenapa aku ingin pergi berperang?”
“Bukan itu intinya!” Gadis itu menepuk dahi, “wanita zaman sekarang sudah bebas menjadi apa saja!”
“Kalau begitu aku bebas menjahit, merajut, dan memasak.”
Dawn melongo. “Maksudku, Evy Sayang. Banyak kegiatan lain yang bisa kita coba daripada hal-hal kuno seperti merajut, memasak, atau menjahit. Kita sudah punya emansipasi, kita sudah setara dengan laki-laki.”
Evelyn tidak menjawab dan kembali fokus menyusun adonan lembek di atas loyang untuk kembali dipanggang, sebab adonan matang pertama sudah masuk semua ke perut Dawn. Evelyn sering dinasehati masalah ini, bukan cuma dari Dawn tapi juga dua kakaknya yang lain. Kakak tertua—Ruth—kuliah di kota dan mendesak Evelyn untuk segera ikut kuliah. Evelyn mau saja kuliah kalau usianya 23 bukan 13 tahun.
Jenna kakak keduanya sudah menikah, bekerja di institusi papan atas sementara sang suami di rumah bersama anak-anak. Jenna paling sering mengkritik hobi Evelyn yang menurutnya terlalu kuno. Dia takut adik bungsunya berakhir tinggal di dapur pria berkepala besar yang memperlakukannya seperti properti. Maka Evelyn berpikir selain pria berkepala besar, tinggal di dapur tidak kedengaran buruk, apa lagi kalau dapurnya mewah dan lengkap. Bayangkan hidangan apa saja yang bisa dibuatnya, ia mungkin menciptakan menu baru.
Lalu ada Dawn berusia 16 yang berencana menjadi pekerja lapangan setelah lulus SMA, entah apa artinya. Tidak satu kritik pun Evelyn dengar mengenai mereka. Mungkin karena pilihan dan hobi kakak-kakaknya tidak kuno, dan orang-orang berpikir itu memang semestinya sehingga mereka mengharapkan itu juga dari Evelyn.
“Hmm ... mungkin kau harus ikut aku ke Club Minggu akhir pekan ini.” Dawn memulai lagi, urung pergi demi menunggu adonan selanjutnya matang. “Di sana ada lapangan luas berisi berbagai kegiatan seru. Kau mungkin menemukan hobi baru yang tidak terlalu kuno.”
Evelyn mengangkat bahu pasrah, kemauan—dalam hal ini perintah—Dawn mustahil ditolaknya untuk beberapa alasan. Begitu loyang kedua matang ia buru-buru menjauhkannya dari sang kakak.
“Ini untuk Ruth dan Jenna!”
***
Dawn benar-benar membawa Evelyn ke Club Minggu pada pekan berikutnya, tidak mengindahkn alasan-alasan masuk akal sang adik untuk tetap di rumah. Diam-diam gadis itu memasukkan peralatan merajut ke dalam tas, sebab ia yakin Club itu akan menguras tenaga. Segala hal yang berhubungan dengan Dawn selalu menguras tenaga.
Di sana Evelyn mencoba kolam pancing, dan tidak mengerti kenapa orang-orang betah duduk diam tanpa melakukan apa pun selama berjam-jam. Ia juga mencoba panjat tebing, tapi tangan kurusnya tidak cukup kuat mengangkat tubuh sendiri. Kemudian trampoline, lantas mengetahui kalau ia takut ketinggian. Percobaan terakhirnya adalah sepak bola, dan sepertinya bola memang mencintai Evelyn karena benda itu selalu mendarat di kepalanya.
“Kau hebat, Evy!” Dawn berteriak dari ujung lapangan.
Sambil mengusap kepala Evelyn berpikir Dawn pasti mempunyai pengertian berbeda dari kata hebat. Ketika hari mulai sore dan Dawn fokus pada pertandingan sepak bola, Evelyn pun melipir ke pohon rindang di pinggir lapangan, menggelar syal, lalu duduk berselonjor kaki.
Teringat akan peralatan sulam yang dibwanya dari rumah, ia mengelurkan benda itu dan mulai merangkai syal baru berpola beruang. Napasnya mulai normal, energinya seakan terisi kembali. Menurut Evelyn, perasaan itulah saat di mana kau tahu telah memilih hobi yang tepat.
Mungkin Ruth merasakannya saat mengerjakan tugas-tugas dan kegiatan kuliah, mungkin Jenna merasakannya setiap ia pergi bekerja, lalu pulang disambut orang-orang tercinta, mungkin Dawn merasakan ini saat dia berlari bagai angin sambil menggiring bola atau memanjat bukit. Lalu kenapa yang satu lebih kuno dari yang lain kalu perasan yang ditimbulkan sama.
“Bisa geser sedikit?”
Evelyn mendongak, mendapati pemuda seusianya menenteng buku dalam balutan kain. Saat Evelyn tak kunjung menjawab, dia menarik napas seolah bicara lagi akan mengosongkan seluruh kotak suaranya.
“Pohon ini paling rindang, lagi pula biasanya aku yang tiduran di sini. Aku tidak akan mengusirmu, tapi setidaknya berbagi.”
Evelyn menggeser tubuh dan peralatan sulamnya tanpa bicara, lalu pemuda itu ikut menggelar syal sebelum merentangkan tubuh di atasnya. Mereka saling diam, Evelyn fokus merajut sementrra dia asyik menonton daun-daun tertiup angin. Namun, manik cokelat itu melirik dan terlihat penasaran.
“Ini Club baru atau apa?”
“Bukan, ini cuma aku dan hobiku,” jawab Evelyn tanpa berpaling.
Pemuda itu duduk, melihat-lihat rajutan setengah jadi di pangkuan Evelyn. Syal perpaduan putih dan cokelat, ada corak beruang di beberapa tempat.
“Kalau sudah jadi kau apakan?”