Awan kelabu bergulung-gulung di langit, bergerak lamban mengikuti embusan angin yang membekukan sampai ke tulang. Tidak ada yang bisa melihat, di balik awan-awan tebal itu ribuan bintang bertaburan, berkelap-kelip bak permata.
Jika diperhatikan lebih saksama, ada dua bintang istimewa yang berbeda karena ukuran dan pijar cahaya mereka. Satu lebih kecil, satu lebih besar, berdampingan seolah sedang bergandeng tangan. Hal itu jarang sekali terjadi, teramat sangat jarang. Konon, jika kedua bintang itu muncul, seseorang yang istimewa dari Neverland sedang datang berkunjung.
Selimut putih menutupi seluruh kota London, mereka bahkan menutupi menara Big Ben seperti sebuah topi, membuat detikannya teredam meski masih terdengar samar di setiap telinga manusia sejauh beberapa meter. Jarum panjang menunjuk ke arah dua belas sedangkan jarum pendek terarah tepat pada angka sepuluh. Malam hari.
Aktifitas di jalan utama sudah sangat lengang, hanya segelintir mobil yang masih berani berkeliaran di aspal licin musim dingin. London tidak berubah sejak terakhir kali Peter berkunjung. Entah kapan itu, ia juga tidak ingat, sepertinya belum lama. Anak itu hanya mengingat ketika ia meninggalkan Wendy, John dan Michael, serta The Lost Boys untuk tumbuh dewasa.
Sebelum pergi, Peter berjanji akan mengunjungi Wendy untuk mendengar kisah-kisahnya yang lain, terutama kisah tentang dirinya sendiri. Sekarang saatnya menepati janji itu. Tink melesat mendahului, menerangi setiap bangunan yang berjejer rapi agar Peter bisa melihat lebih jelas. Sebenarnya Tink tidak perlu melakukan itu, Peter bisa pergi ke rumah Wendy bahkan dengan mata tertutup.
Salah satu perumahan bertingkat yang dindingnya paling bersalju. Jendela kedua dari kiri—itulah kamar Wendy. Dengan hati-hati, anak itu membuka jendela yang tidak terkunci, Wendy pasti sudah menunggu kedatangannya. Lagi-lagi Tink hendak melesat masuk mendahului, tapi Peter segera menangkap Pixie nakal itu.
“Jangan berisik!” bisiknya, “tunjukan sedikit sopan santun, Tink!”
Tink mencibir. Sejak kapan seorang Peter Pan memedulikan sopan santun!
Peter melihat sekeliling. Kamar cukup luas bernuansa merah muda dan krem, ada pedang kayu tergeletak di lantai, sebuah kotak musik dengan boneka bajak laut yang muncul tiba-tiba, replika kapal bajak laut, serta rumah boneka lengkap dengan aksesorisnya.
Tempat ini tidak berubah sama sekali, semuanya sangat melambangkan Wendy—si gadis lembut yang pemberani. Hanya saja kali ini tidak ada tiga ranjang, melainkan satu, dan ukurannya sangat besar. Kemana perginya Michael dan John? Apakah mereka sudah mempunyai kamar sendiri?
“Peter?”
Suara yang sangat familiar membuat Peter menoleh. Ada siluet seorang gadis di situ, dan Peter yakin itu adalah teman lamanya.
“Wendy ... kau kah itu?” Tiba-tiba ranjang bergoyang pelan, menandakan ada seseorang di sana. Peter menoleh, menyadari itu adalah seorang gadis kecil, mungkin seusia dengan Michael. “Kau punya adik baru? Siapa namanya?”
Bocah itu bertanya dengan semangat yang kentara betul dibuat-buat. John dan Michael saja sudah begitu merepotkan. Jika Peter jadi Wendy, ia akan menolak tegas kehadiran adik baru, mereka seperti benalu yang selalu merugikan.
Wendy tidak menjawab, ia mengulurkan tangan ke arah lampu, lantas menyalakannya. Senyum Peter seketika larut bersama kekecewaan, Wendy yang ada di sana bukan lagi seorang gadis kecil, dia seorang wanita. Dia sudah dewasa.
Berapa lama aku pergi?
Wendy dewasa berdiri, menghampiri Peter perlahan. Tingginya bahkan jauh melebihi anak itu sekarang.
“Wendy?”
“Halo, Peter,” jawab wanita itu, sambil menyematkan rambut ke belakang telinga. Seperti kebiasaannya dulu.
Peter baru menyadari suara Wendy terdengar lebih anggun dan berwibawa, lain sekali dengan sebelumnya. Peter memalingkan wajah dengan kesal, anak itu memang paling payah menyembunyikan perasaan.
“Kau berubah!”
Wendy dewasa bersimpuh pada lutut, menjajari tinggi badan mereka, dan berbisik. “Tidak juga ... tidak akan pernah.”
“Siapa dia?” tanya anak itu, masih merajuk.
“Siapa?”
“Kau tahu ... orang kurang ajar yang telah merebutmu dariku.”
“Maksudmu suamiku?”
Peter mendengkus, wajahnya semakin merengut, sontak membuat Wendy tertawa. “Dia adalah pria manis dari Nortingham, dia sedang dinas ke luar kota selama beberapa minggu, jadi tidak bisa bersamaku sekarang.”