Impy Island

Impy Island
Chapter #4

Tell Laura I Love Her

Segerombol pemuda tanggung tengah berdiri di hadapan sebuah kertas pengumuman lusuh yang tertempel pada dinding kedai kopi. Sebuah kertas kecokelatan dengan ukiran bingkai sederhana, serta huruf yang tidak terlalu besar, kelihatan betul brosur itu dibuat dengan biaya seadanya. Pengumuman itu bertuliskan.

Hadirlah! Balap mobil lokal Youthrod ke-65. Minggu ini! Daftarkan diri anda segera di balai kota!

Pengumuman yang tidak begitu penting bagi sebagian besar orang. Namun, bukan itu yang membuat para pemuda berkumpul. Melainkan kalimat setelahnya.

Menangkan hadiah uang tunai sebesar seribu dolar!

“Besok? Mendadak sekali. Kau ikut?” tanya satu pemuda kepada temannya.

“Tidak ... aku tidak punya mobil. Kalau saja ini balap sepeda.”

Beberapa orang menanggapi celetukkan itu dengan tawa renyah. Kemudian pemuda yang bertanya pertama mengangkat bahu.

“Sekalipun punya, aku tidak akan ikut.”

“Kenapa? Hadiahnya sangat menggiurkan.”

“Semua orang tahu balap mobil Youth itu ilegal. Tidak ada asuransi, tidak ada jalur resmi, tidak ada persetujuan pemerintah. Jika terjadi apa-apa di sana, kau mati benar-benar hanya meninggalkan nama.”

Temannya lagi-lagi bergidik. “Benar ... hanya orang bodoh yang mendaftar. Orang-orang nekad yang tidak menyayangi diri sendiri.”

“Tapi kalau menang, kau bisa membeli semua minuman di kedai ini sampai bangkrut.”

Mereka semua tertawa, lantas berjalan kembali ke kedai. Gerombolan lain ikut bubar begitu saja, menyisakan satu orang pemuda yang sejak tadi tidak ikut ke dalam percakapan. Manik cokelat-nya terpaku pada iming-iming hadiah yang tertera pada kertas.

Sekonyong-konyong sebuah senyum tipis terukir di bibir, ia bergegas menuju telepon umum terdekat, memasukan beberapa keping koin, dan menekan nomor tujuan. Tak lama sebuah suara bernada tinggi terdengar dari seberang. Suara yang terdengar seperti alunan musik di telinganya.

“Laura? Ini Tommy. Aku akan menemui besok,” katanya tanpa basa-basi.

“Tommy? Kau kan baru saja pulang dari sini.”

“Memangnya aku tidak boleh menemui setiap hari?”

“Bu—bukan begitu ... tentu saja boleh. Aku hanya terkejut saking senangnya.”

Tommy terkekeh kecil mendengar nada gugup gadis itu.

“Jadi kau mau datang pukul berapa?”

“Entahlah, pokoknya aku akan datang. Oh ... aku ingin kau mengenakan pakaian terbaikmu, dan berdandanlah yang cantik.”

“Memang biasanya aku tidak cantik, ya?”

Lihat selengkapnya