_______________
PERAMPOKAN DAN PEMBUNUHAN KEJI OLEH PASANGAN IBLIS!
PASANGAN IBLIS DALANG PENEMBAKAN DI SEBUAH BANK KECIL!
PENJARAHAN BESAR-BESARAN OLEH PASANGAN IBLIS!
PASANGAN IBLIS BERAKSI LAGI!
_______________
Dua tahun terakhir halaman utama setiap koran di Louisiana menuliskan berita kriminal yang sama. Pasangan iblis meneror nyaris seluruh bank kecil maupun besar di negara bagian tersebut tanpa pandang bulu.
Identitas keduanya tidak misterius, bahkan dua iblis itu selalu mendokumentasikan kebrutalan mereka berupa foto, lantas meninggalkan hasil jepretan itu di tempat perkara. Namun, keduanya juga begitu pandai melarikan diri. Mereka licin seperti belut, dengan kemampuan kamuflase setingkat bunglon.
Bahkan kedua orang tua dari si gadis tidak pernah melihat anaknya selama dua tahun terakhir, kecuali di dalam koran. Ia tidak pernah pulang ke rumah meskipun ayah dan ibunya selalu berdoa setiap malam agar anak semata wayang mereka itu kembali. Nyonya Parker tak henti menangis begitu komandan polisi datang ke rumahnya bersama beberapa anggota.
“Anakku bukan orang jahat.” Wanita paruh baya itu tergugu dibalik sapu tangan.
“Anakmu membunuh lebih dari sepuluh orang, membuat puluhan lainnya kritis dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. Jahat memang kata yang tepat untuknya,” ketus si kepala polisi.
“Dengar, Komandan. Anakku adalah gadis baik-baik, dia hanya terpengaruh oleh seorang lelaki bajingan.” Tuan Parker ikut bicara.
“Setiap manusia bebas menentukan pilihan. Seperti putrimu bebas memilih untuk pulang ke rumah, dan makan malam kalkun panggang bersama sanak keluarga selama dua tahun belakangan, tapi dia tidak melakukannya. Dia sudah menentukan pilihan lain.”
Si komandan melempar lagi sebuah foto, menunjukkan pondok kayu sederhana yang tertutup pepohonan serta semak belukar lebat. Sebuah pondok yang diyakini adalah tempat persembunyian pasangan iblis selama ini. Pria itu menghisap cerutu dalam-dalam.
“Kami ke sini hanya ingin mengatakan, putri kalian bukan lagi tanggung jawab kalian. Dia adalah tanggung jawab kami sekarang.”
Nyonya Parker langsung meraung begitu keras, sedangkan sang suami tertegun. Wajah galak yang sejak tadi ia pasang larut sudah, berganti dengan kecemasan luar biasa.
“Bukankah ada tahap-tahap tertentu sebelum kalian benar-benar memutuskan!” geram pria tambun itu.
“Sesungguhnya memang ada, tapi aku jamin tahap-tahap itu tetap membawa para tersangka ke liang lahat, mengingat banyaknya nyawa melayang akibat ulah mereka,” jelas Komandan. “Bedanya ... proses tersebut membutuhkan lebih banyak waktu dan uang.”
Tuan Parker diam seribu basa. Dalam keadaan seperti sekarang, mustahil ia bisa mengurus segala proses persidangan, setelah beberapa detik terdiam, menyisakan isakan Nyonya Parker. Akhirnya Tuan Parker mengangkat kepala, kali ini lebih mantap.
“Jika ini memang demi kebaikan, lakukanlah!” Sang istri menjerit protes. Memukul-mukul tubuh suaminya sambil meraung-raung. “Asal kalian lakukan dengan cepat, dan jangan sampai menyakitinya,” lanjut pria itu.
Komandan polisi tersenyum simpul. Tanpa mengatakan apa-apa ia melangkah ke luar, dibuntuti beberapa anggotanya. Begitu sampai di luar, pria itu mengangkat tangan, menandakan pekerjaan sudah di mulai.
Sejurus kemudian deru mobil, serta sirine polisi berbunyi sahut-menyahut memekakkan telinga, beriringan meninggalkan rumah sederhana itu. Si komandan, tidak benar-benar datang dengan beberapa anggota saja.
***
Dor!
Timah panas sebesar ibu jari orang dewasa membuat kaca bagian loket transaksi retak parah, seolah akan hancur berkeping-keping dengan sekali sentuh saja. Padahal tulisan pada kaca itu terbaca ‘anti peluru’. Alarm peringatan segera berbunyi memekakkan telinga, ditambah jeritan panik pengunjung bank yang membuat suasana semakin gaduh.
“Semuanya tiarap!” seru seorang pria sambil terus menembakan senapan mesin ke udara.
Tanpa disuruh dua kali, seluruh penghuni bank berjatuhan ke lantai, melindungi kepala mereka dengan kedua tangan.
“Coba memanggil polisi? Kepalamu pecah!” Pria itu melanjutkan saat salah seorang pegawai bank mengendap-endap menuju telepon di atas meja. Tidak mau mengambil risiko, ia menembak telepon itu sampai hancur berkeping-keping.
Sementara itu, empat pria lain yang juga membawa senjata api memasuki ruangan. Mengawasi setiap pengunjung seraya mengambil apa pun yang bisa mereka ambil. Satu orang lagi menyusul dengan membawa senapan gentel.
Kali ini bukan laki-laki, dia adalah wanita anggun yang memakai gaun ketat selutut, dengan paduan stocking hitam, serta sepatu hak tinggi warna merah terang. Wanita itu langsung menuju loket transaksi, lantas menyodorkan mulut senapan ke depan wajah pengawas yang sedang berjaga.