Impy Island

Impy Island
Chapter #6

Memories

Cuaca cerah di akhir pekan adalah saat yang paling tepat untuk berjalan-jalan ke taman kota. Hari ini aku pergi tidak sendirian, aku datang bersama Arimbi, sahabatku, dan seekor anjing retriever tua.

Taman kota di sini cukup besar, tanahnya dilapisi batu bata merah, kecuali bagian pohon dan semak-semak, jalan setapaknya dibuat berbeda warna. Ada kolam buatan yang cukup besar berisi sekumpulan bebek.

Beberapa orang terlihat berlari-lari sore, sementara sisanya duduk pada bangku yang tersedia. Taman ini memang tempat yang paling cocok untuk menenangkan pikiran setelah beraktifitas nonstop selama lima hari berturut-turut. Arimbi menuntunku ke sebuah bangku dari batu bata merah yang dibangun melingkari pohon mapel besar untuk beristirahat.

“Tunggu di sini ya, Jani. Aku akan membeli es krim.” Wanita itu langsung berlari menghampiri kios es krim sebelum aku sempat merespon.

“Belikan aku rasa vanila!” seruku tidak terlalu keras. Semoga saja dia mendengarnya.

Duduk sendirian membuatku spontan memerhatikan sekitar. Pohon mapel besar di tengah bangku inilah yang paling menarik perhatian. Warna oranye pias mulai mendominasi daunnya, menandakan musim gugur akan segera tiba.

Pohon ini semakin besar saja dari terakhir kali aku ke sini. Diam-diam, jemariku meraba batang besarnya yang kokoh. Berharap menemukan sesuatu yang menarik, dan ternyata, aku benar-benar menemukannya.

Ozan + Jani

Masih ada di sana ... Dua nama yang diukir seadanya dengan sebuah obeng tumpul. Hasilnya pun tidak karuan, mencong sana-sini, kedalamannya tidak merata, benar-benar hasil tangan amatir. Di hadapan pohon itulah aku menikah untuk pertama kali.

Pernikahan pura-pura tentunya, tapi saat itu baik aku maupun dia benar-benar serius untuk menjadi suami-istri, kami siap menghabiskan waktu berdua sampai akhir hayat. Karena kami percaya bahwa kami saling mencintai.

***

(Bertahun-tahun lalu, sebelum hari ini ....)

“Aku tidak bisa melakukan ini, Ozan!” keluh Veli—anak yang dipaksa ikut kedalam urusan sakral hari itu.

“Ayahmu, kan biasa menikahkan orang di gereja masa kau tidak bisa!” seru bocah bernama Ozan. masih sibuk mengukir maha karya pada batang pohon ek.

“Itu kan ayahku, bukan aku ... lagipula ayah tidak pernah mengajakku ke acara pernikahan yang dia hadiri.”

Setelah selesai mengukir, anak itu langsung menggenggam kedua tangan seorang gadis kecil seusianya sambil menyunggingkan senyum. Senyuman itu berganti menjadi amarah ketika berbalik kepada Veli.

“Cepat lakukan saja!”

Veli yang malang menggaruk kepala, kebingungan. Sambil menerawang, ia mengingat-ingat apa saja yang sang ayah katakan pada acara pernikahan seseorang, dan tidak berhasil mengingat apa pun. Takut mendapat pukulan dari penindas semacam Ozan, anak itu akhirnya menaikkan dagu, berpura-pura tahu apa yang harus dilakukan.

“Umm ... Ozan dan Jani, apa kalian saling menerima di saat susah dan senang? Di saat sakit dan sehat?” Anak itu memicingkan mata—berusaha mengingat salah satu adegan di TV. “Dan kalian akan setia untuk selama-lamanya?”

Usia calon pengantin saat itu masih sekitar sepuluh atau sebelas tahun, tapi mereka dengan mantap menjawab “Iya.” Tekad mereka sudah bulat ingin menikah, rasa cinta keduanya sama besar, dan mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

“Kalau begitu ... kalian sekarang menjadi suami dan istri!” seru Veli sambil menebar sobekan rumput serta bunga warna-warni yang sudah disediakan, tentu saja Ozan juga yang menyuruhnya melakukan itu.

Seharusnya pengantin pria mencium pengantin wanitanya, tapi saat Ozan mendekatkan bibir, Jani reflek menahannya dengan telapak tangan. “Ibu bilang masih kecil tidak boleh ciuman.”

Bocah itu menggaruk kepala seiring pipinya bersemu. “Benar ....”

“Boleh aku pulang sekarang?” tanya Veli dengan wajah memelas, yang malah dijawab oleh mata mendelik dari Ozan.

Tentu saja belum, kalau bocah gempal itu pulang, siapa yang akan mengayuh sepeda untuk mengantar pengantin baru jalan-jalan? Setelah melakukan segala pekerjaan yang melelahkan, Veli mendapat satu blok cokelat dari Jani sebagai imbalan.

Akhirnya bocah itu pulang dengan semringah, meskipun napasnya masih ngos-ngosan setelah mengayuh sepeda yang terikat dengan kereta dorong berisi dua manusia sekaligus.

Lihat selengkapnya