Ketika muda, manusia memiliki begitu banyak mimpi, terkadang sangat sulit mencapai kepuasan karena mimpi-mimpi itu terus bertambah besar. Namun, ketika mimpi-mimpi terus bertambah, tanpa sadar waktu pun terkikis.
Apa yang manusia lakukan ketika mereka sadar hidup bukan hanya sekadar mengejar mimpi? Tentu saja membuat mimpi terakhir, mimpi yang akan menutup mimpi-mimpi sebelumnya. Sebuah mimpi yang bisa terwujud bahkan tanpa harus dikejar.
“Sudah lama, ya, tidak duduk santai berdua?” ujar seorang wanita seraya menempelkan bokong di atas sofa. Ia menoleh kepada pria di sebelahnya yang sedang menyesap secangkir teh.
“Iya ... teh racikanmu tetap nomer satu, apa lagi ditambah kue kering ini. Tidak ada yang bisa menandinginya! Hanya satu yang berubah ....” Pria itu mengguncang sofa duduknya. “Sofa ini tidak seempuk dulu.”
Si wanita tertawa. “Tentu saja, benda itu sudah lama sekali ... kalau tidak salah kita membelinya saat menikah, ya?”
“Masa sih?”
“Iya, dulu, kan, kamu masih cinta-cintanya padaku, sampai beli sofa santai pun harus serupa.”
“Hey, sampai sekarang aku juga masih cinta!” protes si pria.
“Baik-baik, aku percaya.”
Si pria menerawang sejenak. “Meskipun memang ada saat-saat di mana rasa cintaku saat itu benar-benar tak terhingga.”
“Oh ya? Kapan?” tanya sang istri, penasaran.
“Saat kamu hamil Si Sulung, besarnya rasa cintaku padamu saat itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku bersyukur, dan begitu menantikan kelahirannya.”
“Aku ingat malam-malam kamu memaksakan diri keliling kota hanya untuk mencari buah mangga, padahal saat itu aku hanya sekadar bilang, bukannya benar-benar ngidam.” Wanita itu terkikik, mengingat ekspresi sang suami malam itu—gusar, panik, dan bingung.
“Tapi akhirnya semua itu terbayar. Dia lahir dengan normal dan sehat. Kita sangat norak saat itu. Si Sulung bersuara sedikit saja kita langsung ikut bersorak.” Pria itu menggenggam tangan istrinya. “Butuh waktu berbulan-bulan hanya untuk memilih nama yang sempurna, sesuatu yang spesial, tapi tidak terlalu membebani. Untung kita sudah menemukannya sebelum dia lahir.”
“Dia tumbuh menjadi seperti yang kamu harapkan. Pemberani, tampan, dan berjiwa pemimpin.”
Keduanya terdiam meresapi ingatan masa lalu yang meluap. Bagaimana Si Sulung bisa duduk, tumbuh gigi, merangkak, berlari, sampai akhirnya masuk TK. Semua diabadikan dengan foto, jika dipikir-pikir Si Sulung yang paling banyak fotonya dalam album.
“Ingat tidak saat aku hamil Si Tengah?” Wanita itu tiba-tiba berseru. “Atau kita biasa memanggilnya ‘bungsu tidak jadi’.”
Si Pria menghela napas, sedikit terkekeh. “Siapa yang tidak ingat? Masa-masanya kamu menjadi sangat manja, bahkan minum saja harus diambilkan.”