Impy Island

Impy Island
Chapter #9

The Perfect Twins

Dua puluh menit berlalu sejak bel masuk berbunyi. Namun, keadaan kelas masih porak-poranda. Kursi-kursi bergeser dari tempatnya, beberapa murid duduk di lantai membuat kelompok gosip, sementara sebagian kecil lain membaca novel, atau mendengarkan lagu.

Meski begitu, mereka sepakat untuk tidak mengeluarkan suara keras. Tentu saja agar guru-guru kelas sebelah mengira kelas itu sedang melakukan kegiatan belajar-mengajar. Padahal sudah dua puluh menit tak satu pun sosok pengajar terlihat.

Pintu kelas tiba-tiba menjeblak terbuka. Para murid serempak membeku, karena tidak sempat kembali ke tempat semula. Tanpa sadar mereka meringis nyaris bersamaan, siap menerima apa pun yang akan terjadi.

Namun, bukannya guru, yang muncul justru dua anak laki-laki dengan wajah bak pinang dibelah dua. Peluh sebesar biji jagung tersebar pada dahi keduanya yang mengerut kesal. Salah satu dari mereka berbalik, menuding kembarannya penuh tuduhan.

“Setiap hari telat cuma buat nungguin lo dandan kayak anak cewek!”

“Udah berkali-kali gue bilang, kalau lo mau jalan, ya jalan aja. Nggak usah nungguin gue!” balas yang satu lagi. Spontan ikut menuding.

“Ibu nyuruh gue nungguin lo!”

“Itulah ... Anak Mami, siap-siap aja lo telat sampai akhir tahun!”

“Itulah ... Anak Durhaka, siap-siap aja mayat lo susah dikubur!”

Murid lain akhirnya menghela napas lega, beberapa bahkan memutar bola mata malas.

Twins fight,” keluh mereka.

“Je, lo tau gak? Lo jelek!” ledek Jaymi yang sontak membuat kembarannya terdiam.

“Muka kita sama, Jay!” balas Jaden yang bahkan membuat kembarannya lebih terdiam.

Jaymi meringis, akhirnya memutuskan untuk meletakkan tas, dan menghampiri rombongan temannya. Sementara Jaden lebih memilih duduk pada kursinya yang terletak di pojok belakang, lalu memasang headphone.

“Kembaran lo kenapa marah-marah mulu, sih, Jay?” tanya Mike segera setelah Jaymi duduk di depannya.

“Bawaan lahir,” jawab Jaymi, asal.

“Anak aneh. Jangan-jangan dia Psikopat.” Tio menimpali.

“Aura-nya suram pula!” kata Robi, “pantesan nggak punya temen.”

"Gue juga nggak bakalan mau, sih temenan sama dia meskipun di bayar."

“Lo udah denger, belom? Katanya Jaden pernah kena kasus ....”

Jaymi tiba-tiba menggebrak meja. Membuat ketiga temannya terlonjak. “Kok malah gibah? Kayak cewek aja, lo semua,” geram pemuda itu. “Gue bawa UNO, nih. Ayo, main!”

Jaymi bisa dibilang ketua dalam kelompok kecil itu, sehingga apa pun ucapannya berarti perintah bagi yang lain. Tidak menunggu persetujuan, pemuda itu lebih dulu membagikan kartu UNO kepada masing-masing temannya.

***

Jaden menggantung tas di belakang pintu, hari yang melelahkan seperti biasa. Pemuda itu melepaskan atribut sekolah, termasuk topi, ikat pinggang, dan pin kecil berbentuk bendera merah putih, lantas meletakkannya di sebuah laci kecil, mengingat itu semua adalah benda-benda yang mudah hilang.

Menjadi anak patuh ternyata sangat merepotkan, terkadang ia ingin seperti Jaymi yang begitu santai menanggapi segala hal. Namun, mengingat kembarannya adalah anak paling konyol sejagad raya, ia tidak jadi menginginkannya.

Pemuda itu beralih pada meja belajar untuk mengisi daya ponsel, tapi kabel putih itu tidak terlihat di mana pun, bahkan di laci dan keranjang. Jaden baru saja ingin membongkar lemari pakaian untuk mencari, lantas bergeming.

Tersadar akan kedisiplinannya, tidak mungkin seorang Jaden meletakkan sesautu sembarangan sampai bisa lupa. Jaden bukan pelupa, dia pengingat. Jika sudah begini, hanya satu pelakunya. Pemuda itu mengepalkan tangan.

“Jaymi!”

Sewaktu kecil, Jaden dan Jaymi tidur sekamar, tapi beranjak dewasa, mereka menginginkan privasi. Jaden tepatnya yang menginginkan itu, karena kembarannya tidak terlalu peduli. Akibat lahan yang tidak memungkinkan untuk membangun kamar baru, akhirnya ayah mereka mengakali dengan membuat triplek tipis dari ujung ke ujung.

Juga disertai pintu geser yang memisahkan kamar keduanya. Dengan begitu, semua masalah beres tanpa mengeluarkan banyak uang. Segera saja Jaden membuka pintu geser itu, dan meneliti kamar saudaranya. Pakaian kotor menggunung, sarung ranjang tidak rapi, poster tertempel di sana-sini. Benar-benar seperti kapal pecah.

Jaden melangkah hati-hati menuju meja belajar, berusaha tidak menginjak buku-buku tulis, maupun pakaian yang tersebar di lantai. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan pengisi daya miliknya, kabel putih itu terlihat paling bersih di antara yang lain.

Pemuda itu ingin segera pergi setelah urusannya selesai, tapi sebuah kartu persegi panjang berwarna biru galaksi menarik perhatiannya. Sebuah kartu undangan. Sebuah kartu undangan pesta di rumah Teresa. Sebuah kartu undangan pesta yang katanya ‘semua teman kelas akan diundang’.

Semua kecuali satu tentunya.

“Je, ngapain lo di kamar gue? Bukannya kita udah sering ngomongin masalah privasi!” teriak Jaymi. Namun. teriakkan itu tidak mengaggetkan Jaden sama sekali.

“Je ...?” Menyadari ada kartu undangan di tangan saudaranya. Pemuda itu meringis, lalu merangkulnya.

“Kenapa gue nggak diundang?” lirih Jaden.

Jaymi menggaruk kepala. “Umm ... mungkin karena lo jarang bersosialisasi sama temen-temen kelas.”

Lihat selengkapnya