Impy Island

Impy Island
Chapter #10

Magical Fairy Pouch

Keluargaku mempunyai sebuah jimat turun-temurun bernama Kantung Peri Ajaib. Entah mengapa dinamakan seperti itu. Jika diperhatikan, tidak ada hal berbau ‘keajaiban’ dari kantung kecil ini selain motif dan rendanya yang indah bak milik seorang peri dari negeri dongeng.

Namun, keluargaku percaya bahwa kantung ini adalah perantara bagi seseorang untuk bersatu dengan cinta sejati mereka. Contohnya ibuku, ia begitu yakin bisa menikahi ayah karena jimat ini, begitu juga dengan bibi pertama, bibi kedua, serta paman.

Bahkan sepupuku Revina yang baru menikah percaya bahwa jimat inilah yang membantunya bersatu dengan sang cinta sejati. Tidak masuk akal, memang, tapi itulah yang terjadi. Mereka menikah tak berselang lama setelah Revina dipercayakan jimat itu dari Paman.

“Yang kau butuhkan hanyalah cinta, keyakinan, dan, keberanian ....” Begitu kata Revina pada pertemuan terakhir kami. “Tapi yang terpenting adalah, tiga helai rambut dari orang yang kau cintai. Tanpa itu, jimat ini tidak tahu siapa targetnya.”

Aku mengangguk paham. Tentu saja, sebuah jimat tidak akan menjadi jimat tanpa sesuatu yang ‘sakral’. Revina adalah lajang terakhir dalam keluarga besarku, lalu disusul olehku. Setelah Revina menikah, jimat ini langsung dipercayakan kepadaku, sambil mewanti-wanti agar jangan sampai hilang.

Suatu saat nanti kalau aku sudah menikah barulah aku menurunkan jimat ini kepada adik atau sepupu yang lebih muda. Kebetulan memang ada seseorang yang kusukai belakangan. Saat yang tepat untuk membuktikan kebenaran jimat ajaib turun-temurun ini.

Karena diam-diam, aku sangat mengharapkannya. Diam-diam, aku berjingkrak kegirangan mendapatkan jimat ini. Omong-omong, pemuda itu bermama Jonathan. Dia memiliki semua tipe fisik yang diidamkan perempuan, sifatnya pun jauh dari kata tercela.

Terlepas dari semua itu, aku sangat menyukai gaya rambutnya yang rapi dan tegas, persis seperti seorang tentara. Aku bukan tipe gadis yang mudah canggung kepada siapa pun, tapi ketika berhadapan dengan Jonathan seluruh tubuhku membeku, dan pita suaraku seolah terjepit di tenggorokan.

“Aku tidak mungkin datang tiba-tiba sambil berkata ‘Hey, Jonathan, boleh minta tiga helai rambutmu? Agar aku bisa memasukannya ke dalam jimat ajaib ini, membuatmu suka padaku, lalu kita menikah, dan hidup bahagia selamanya?’ itu mustahil, Val!” keluhku pada sahabat gilaku Valerie.

“Tunggu sebentar ... kau suka pada Jonathan?” tanya Valerie dengan kening berkerut seperti anjing bulldog. “Jonathan yang itu?”

“Benar!” jawabku segera. “Jadi begini, Val. Aku butuh bantuanmu untuk mengambil tiga helai rambut Jonathan. Aku mohon ... Kaulah satu-satunya temanku yang tidak punya urat malu.”

Valerie menggeleng, mencoba kembali ke alam sadar, dan menatapku. “Tiff, kau adalah gadis yang cantik, dan aku tahu betul kau sangat baik hati, tapi ... Jonathan? Bukankah dia terlalu ....”

“Hey! Aku tahu Jonathan sempurna, tapi tidak ada salahnya mencoba, kan?” selaku seraya berkacak pinggang. “Lagi pula dengan jimat ini, aku yakin Jonathan akan balik menyukaiku. Persis seperti para pendahuluku yang mendapatkan cinta sejati mereka.”

Valerie mengangkat telunjuk—ingin kembali membantah. Segera saja aku membekap mulutnya. “Tolonglah, Val, bantu aku. Aku janji tidak akan merepotkanmu lagi setelah ini.”

Setelah beberapa detik termenung, gadis itu memutar bola mata, menepis tanganku dari mulutnya dan tersenyum. “Bagaimana bisa aku menolak permintaan Tiffany-ku. Kau akan mendapatkan tiga helai rambut Jonathan hari ini juga.” Tanpa sadar aku memekik girang, lantas memeluk Valerie begitu erat.

“Meski aku heran kenapa seleramu menjadi begitu ... tidak biasa,” gumamnya.

***

“Tiff, terima kasih atas jimatnya. Sangat manjur. Akhirnya aku dan Kane jadian!”

“Jimat ini sangat manjur, Tiff. Aku mendapatkan jawaban ‘ya’ dari Lauren!”

“Aku menonton film dengan Reena semalam, setelah sekian lama dia selalu menolak akhirnya dia menyetujui ajakanku. Terima kasih jimatnya, Tiff.”

Aku tersenyum kecut menanggapi semua kabar baik itu. Sudah tiga bulan berlalu, banyak pasangan yang berhasil, banyak cinta yang terbalas berkat jimat ini, tapi kenapa aku tidak termasuk salah satunya? Padahal Valerie sudah bersusah payah memberikan rambut Jonathan kepadaku hari itu. Dia berlari dengan wajah semringah seraya mengepal tangan yang ternyata berisi rambut.

“Banyak sekali! Aku cuma butuh tiga helai!” pekikku melihat segumpal rambut di tangannya.

“Anak bodoh itu menolak saat kuminta secara baik-baik, ya sudah aku ambil saja secara paksa,” balas Valerie santai.

“Maksudmu ... kau menjambaknya!?” seruku heboh. “Kau menjambak Jonathan-ku?”

Gadis itu mengangkat bahu. “Apa? Toh dia cowok besar dan kuat, dia tidak akan menangis.”

Namun, sampai sebulan berikutnya tidak ada hal baik terjadi. Jonathan tetaplah Jonathan yang berkharisma. Dia menyapaku begitu ramah, tapi dia juga melakukan itu kepada semua orang, tanpa terkecuali.

Dia memberiku referensi buku yang bagus, karena dia adalah wakil penjaga perpustakaan, dan itu sudah menjadi tugasnya. Dia meminjamkanku payung saat hujan deras, karena tak lama dia diajak Hani untuk satu payung bersama.

Sikap Jonathan yang kuanggap spesial ternyata juga ia berikan kepada orang lain. Itu artinya tidak spesial sama sekali, tidak ada tanda-tanda spesifik yang menunjukan bahwa Jonathan menyukaiku.

Sekarang banyak orang meminjam jimat ini—Tentu saja aku tidak keberatan, daripada khasiatnya mubazir di tanganku. Lalu, tidak sampai seminggu mereka sudah mendapat keberuntungan dalam hal cinta.

Apa yang salah? Aku sudah mempunyai elemen terpentingnya, yaitu rambut Jonathan. Jimat itu sudah tahu siapa targetnya, tapi kenapa benda itu tidak kunjung bekerja? Kupikir cintaku pada Jonathan sudah cukup besar, dan kalau mau jujur aku sangat percaya pada jimat ini. Meski malu mengakui, aku sangat mengandalkan jimat ini, dan aku sangat iri pada mereka yang berhasil.

Aku merogoh dompet dan mengeluarkan segumpal rambut Jonathan. Ya, memang kusimpan semuanya untuk jaga-jaga kalau ingin mencoba peruntungan yang kesekian kali. Panjang rambut ini sekitar lima senti, cukup kasar, dan aku baru menyadari dia memiliki warna rambut hitam kecokelatan—sangat indah.

“Tiffany, kau baik-baik saja?”

Aku terlonjak dengan sapaan itu. Ternyata Valerie dengan cengiran kudanya.

“Entahlah ...,” gumamku seraya menjatuhkan kepala di atas meja. “Sepertinya jimat itu rusak.”

Valerie mengelus kepalaku sebagai wujud simpati. “Jangan menyerah, Tiff-ku sayang, mungkin agak sedikit sulit menyatukan dua manusia yang ... tidak seimbang.”

“Memangnya aku sejelek itu untuk Jonathan?”

“Tiffany, kau tidak jelek. Justru Jonathan-lah yang terlalu ... bagaimana aku menyebutkannya. Katakanlah, berat untukmu. Kau mengerti maksudku, kan?”

Lihat selengkapnya