“Cepetan, Cal!”
Mahesa berlari secepat kilat menyusuri lorong, tidak peduli seruan protes orang-orang yang terdorong olehnya, maupun suara napas Faisal yang mengekor tergopoh-gopoh. Ketika sampai di tikungan pertama, pemuda itu mendadak berhenti.
Mengatur napas yang tersengal agar kembali normal. Tak lama Faisal berhenti di sebelahnya dengan napas menderu yang sama. Keduanya berlari cukup jauh ketika pengumuman audisi tari digaungkan. Cepat-cepat Mahesa menutup mulut temannya.
“Play cool!” imbuh pemuda dengan rambut cepak setajam jarum itu.
Faisal menepis, lantas melepas kaca mata untuk mengelap keringat. “Play cool nggak, mati iya!” balasnya tersungut-sungut.
Tidak memedulikan gerutuan temannya, Mahesa melangkah santai menuju sebuah ruangan tertutup yang sayup-sayup menyenandungkan lagu tradisional. Pintu ruangan itu terbuat dari kaca, sehingga kegiatan di dalamnya tampak dengan jelas.
Murid-murid sedang duduk bersila menonton gerakan mendayu seorang gadis cantik yang diiringi alunan musik tradisional. Dia terlihat begitu anggun, postur tubuhnya indah dengan kaki ramping bak rusa, tertutup leging hitam 3/4, kulitnya kuning langsat, dan rambutnya hitam sepekat arang terlihat paling menyolok di antara anak-anak lain.
“Jadi itu kakak kelas yang lo incar?” tanya Faisal.
“Namanya Quinn Panelopee, kelas XII, anak kedua dari empat bersaudara. Orangnya ramah, sederhana, dan murah senyum. Makanan kesukaannya di kantin, mie ayam Bang Ferry.” Mahesa menyerocos sambil senyum-senyum, padahal tidak ada yang memintanya.
“Dan yang terpenting, dia sangat suka menari. Menguasai empat jenis tarian, mungkin akan bertambah jadi lima kalau sudah selesai mempelajari tarian tradisional. Dan katanya, memang jenis tarian ini-lah yang paling susah dia kuasai!”
Faisal menoleh keheranan. “Kok lo bisa tahu sedetil itu tentang dia?”
“Dia cukup aktif di sosial media, semuanya tertulis di sana, jadi bukan privasi lagi.” Mahesa membela diri.
“Jadi lo memata-matai dia?”
“Iya, Cal. Itu sebabnya gue ‘incar’ dia. Ingat?” geram Mahesa.
Gadis yang tengah menari itu berbalik, kini menampilkan wajah mungil dihiasi hidung lancip, dan dahi tinggi, juga gerak-gerik mata berbulu lentik yang mendayu seolah ikut menari mengikuti badan.
“Wah, ini sih mustahil!” Faisal berseru.
Mahesa menoleh, sewot “Mustahil gimana?”
“Dia 'Quinn', alias Ratu, dia yang terbaik dari yang terbaik, lihat aja, tuh! Sedangkan lo ....” Faisal meneliti temannya dari atas sampai bawah dengan wajah miris.
Pemuda berpenampilan cuek dengan rambut cepak yang sangat tajam, wajah standar (kecuali alis mata yang super tebal), dibilang dingin tidak, humoris juga tidak. Membosankan, dan hobi mengupil. Sebenarnya Mahesa berpenampilan menarik, jika saja tidak terlalu jangkung sehingga membuat posturnya menjadi sedikit bungkuk.
“Gue ini paling ganteng dari tiga bersaudara!” protes pemuda itu.
“Ya ... tapi kan adek lo cewek dua-duanya!” bentak Faisal.
Mereka kembali mengintip dari balik kaca. Quinn masih menari, sepertinya hampir selesai karena sudah ada murid lain yang bersiap tampil di dekatnya. Tanpa sadar kedua pemuda itu terhanyut menatap penampilan Sang Ratu.
“Tapi emang mustahil, dia terlalu sempurna,” gumam Mahesa sendu, “lagian dia kakak kelas, beda dua tahun sama gue.”
Tiba-tiba Faisal merasa bersalah karena sudah menjatuhkan kepercayaan diri temannya. Ia merangkul Mahesa, dan berkata dengan nada bass seksi ala Chris Hemsworth yang dibuat-buat.
“Umur cuma deretan angka, Anak muda.”
Setidaknya itu bisa membuat Mahesa tersenyum kembali, bahkan menjitaknya lumayan keras. Selesainya lagu menandakan performa Quinn juga berakhir. Ia memberi salam singkat kepada ketua klub tari sebagai penutupan.
“Apa aku bisa ikut?” katanya harap-harap cemas.
Ketua mencatat sesuatu pada buku kecilnya, lantas menatap Quinn sambil menghela napas. “Entahlah, Quinn. Kemampuanmu masih jauh di bawah Vista. Aku bisa saja memasukan namamu, tapi pentas kali ini akan dihadiri langsung oleh mentri kesenian, hanya penari tradisional terbaik yang bisa ikut.”
Gadis itu menundukan kepala, terlihat jelas kekecewaan di dalam sorot matanya. Namun, dia buru-buru tersenyum dan memberi salam sekali lagi. “Baik, Kak. Aku akan lebih rajin berlatih.”
“Aku betul-betul minta maaf Quinn. Pentas selanjutnya aku pastikan kau ikut. Kau masih perlu mempelajari lebih banyak hal.”
“Baik, Kak. Terima kasih.”
Mahesa dan Faisal terpana melihat adegan itu. Faisal membetulkan kaca matanya yang melorot karena menoleh terlalu semangat. “Padahal gerakannya bagus banget, kan? Gue kira dia bakal jadi pemeran utama. Kalau segitu belum memenuhi standar, terus yang memenuhi standar kayak gimana? Dewi Drupadi?”