Pukul tujuh kurang lima belas menit, pelataran sekolah sudah dipenuhi oleh murid-murid teladan. Mereka yang rutin tidur pukul sembilan malam, dan bangun pukul enam pagi. Sarapan santai bersama keluarga, dan masih sempat membaca buku pelajaran sebelum berangkat.
Robi juga seorang murid, tapi bukan termasuk golongan tersebut. Pukul setengah tujuh ia baru bangun, mandi dan berpakaian secepat kilat. Lebih memilih mencomot sepotong roti tawar daripada nasi goreng, lantas mengunyahnya seperti mesin. Boro-boro membaca buku, menancap gas 80km/jam dengan motor bebek kesayangannya saja tidak menjamin sampai tepat waktu.
“Berhasil!” Pemuda itu berseru ketika tangannya menyentuh pagar sekolah dengan napas terengah-engah.
Satpam sekolah menatapnya prihatin, lantas menggeleng pelan. Tidak—dia tidak berhasil—bel sekolah berbunyi lima menit lalu. Jadilah untuk kesekian puluh kalinya Robi berdiri di depan tiang bendera, melakukan penghormatan kepada sang merah putih selama satu jam pelajaran.
Sebenarnya itu bukan masalah besar mengingat betapa seringnya ia melakukan itu. Bahkan sudah seperti rutinitas pagi, tontonan kesukaan anak-anak kelas lain yang kedapatan jam olah raga pertama.
Hanya saja matahari tidak terlalu bersahabat hari ini, sinarnya benar-benar terik, padahal masih pagi. Murid-murid yang sedang berolahraga saja melakukan peregangan di dekat pohon-pohon rimbun, mencari tempat yang sedikit lebih teduh.
Robi merasakan dirinya benar-benar sudah matang, mungkin dengan sedikit mentega, garam dan merica ia akan terasa lezat. Lihat, kan? Pikirannya melayang kemana-mana saking mendidih ubun-ubunnya.
Setelah hukuman selesai, Robi mendapatkan sedikit ceramah dari guru-guru piket—sedikit artinya lima belas menit. Pemuda itu sampai hafal dengan setiap suku kata yang terlontar dari mulut para guru, termasuk jangan diulangi, ubah sikap karena sudah kelas dua belas.
Ancaman skors, panggil orang tua, atau yang terburk, dikeluarkan. Ketika hukuman benar-benar selesai, Robi berjalan gontai menuju bangkunya, lantas menjatuhkan diri dengan kasar di situ.
“Dipanggang lagi, kan” imbuh Agung yang notabene teman sebangkunya, setelah melihat punggung Robi basah oleh keringat.
“Bagi minum dong ....” Robi berkata dengan lemas.
Agung memberikan botol air kemasan, masih menatap getir pemuda di sebelahnya.
“Ini kan bulan terakhir lo, coba bangun lebih pagi, dong. Masa mau pindah sekolah pun harus kena siksa dulu.”
“Please, lah, Gung. Tadi Bu Hila sama Bu Retno udah ceramahin gue panjang lebar, masa lo ikut-ikutan, sih!” Robi mendesah.
“Ya jelas semua orang ceramahin lo. Coba hitung berapa kali lo dateng sekolah tepat waktu?” Agung menghitung jari. “Nol, Alias kosong, alias nggak pernah! Mau sampai kapan begitu ....”
“Sampe sekolah mulai pukul sepuluh pagi?”
Agung menepuk dahi begitu keras. “Denger, ya! Sampe bulan jadi dua juga nggak akan pernah ada kegiatan yang dimulai pukul sepuluh. Memang ada beberapa kantor yang mulai beroperasi jam segitu, tapi tetap aja karyawannya diminta datang sebelum kegiatan, alias jam 8 pagi. Lo tau kenapa? Karena itulah yang dilakukan manusia-manusia ‘normal’!”
Seperti kebiasaan pemuda itu ketika ceramah, kedua tangannya ikut menari-nari memperagakan apa saja yang keluar dari mulut. Agung benar-benar cerewet untuk ukuran laki-laki bertubuh kerempeng. Robi tidak mendengarkan lagi, tidak sanggup tepatnya.
Ia lebih tertarik memperhatikan sesuatu di depan. Bukan pelajaran pastinya, melainkan seorang gadis yang tengah serius menyimak papan tulis, menyalin apa yang tertulis di sana ke dalam buku miliknya setelah guru keluar beberapa menit lalu.
“Dia tadi nanyain gue?” tanya Robi begitu saja.
Sedikit mendecak karena ceramahnya tidak di dengar, Agung mengikuti arah pandang temannya. “Nggak lah, kalo lo yang dihukum sih semua orang tahu apa alasannya.”
“Melirik ke lapangan juga nggak?” Pemuda itu memastikan, dan dijawab galengan kepala. Robi menghela napas panjang. “Sok cuek banget!”
“Memang kenapa? Toh kalian udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, kan?”
Pemuda itu melirik tajam. “Makasih udah diingetin ....”
“Daripada mikirin orang, mending sekarang pikirin diri lo sendiri. Coba lo bayangin, setiap hari kena hukuman, penyebabnya selalu sama. Lo tau jam waker? Tau fungsinya untuk apa? Kalo susah bangun pagi, belilah itu, paling harganya nggak seberapa! Daripada ....”
Agung melanjutkan kotbahnya, padahal Robi sudah kembali asyik mengaggumi gadis yang berada jauh di ujung ruangan. Dahulu, gadis itulah yang selalu menceramahinya. Ketika Robi dihukum, dia akan mengomel tanpa suara dari jendela, membuat wajah lucu, dan menjadi tontonan kesukaan Robi.
Secara ajaib bisa membuat hukuman apa pun terasa ringan. Gadis itu bernama Tami. Ya, dia kebalikan dari Robi. Ya, dia golongan siswa teladan. Itu sebabnya Tami dan Robi tidak pernah berangkat sekolah bersama.
Robi tidak pernah bisa mengikuti jam kegiatan Tami. Begitupun sebaliknya. Pulang sekolah pun seringnya sendiri-sendiri, kalau bukan Tami yang sibuk tugas, pasti Robi tengah sibuk menjalankan hukuman.
Teman-teman sudah setuju mereka adalah pasangan paling bertolak belakang dan tidak romantis sejagad raya. Biar begitu, baik Robi maupun Tami nyaman dengan kondisi tersebut, bagi mereka perbedaan berarti saling melengkapi.
Toh mereka saling mencintai, toh mereka saling percaya. Bisa bersatu dalam perbedaan yang drastis menjadi kebanggaan mereka. Meskipun pada akhirnya perbedaan juga yang memisahkan keduanya.