Gadis itu hadir di tengah hiruk-pikuk penonton, alunan lagu metal memenuhi ruangan remang-remang, membuat gendang telinga ikut bergetar. Ketika orang-orang membenturkan kepala pada angin kosong sampai hampir memutuskan kepala sendiri, gadis itu hanya berdiri di sana dengan kepala menengadah.
Menatap sang bintang acara dengan gitar listriknya. Mungkin dia terpesona akan ketampanan wajah pria itu, mukin juga karena kemampuan bergitarnya yang luar biasa. Namun, setiap orang yang tak sengaja melihat ekspresinya saat ini, tahu persis bukan hanya kekaguman yang tengah dirasakan gadis itu, melainkan juga penyesalan.
Bintang bersinar di atas panggung itu, padahal dahulu hanyalah sebongkah batu. Dia selalu memakai celana Baggy longgar, baju belel longgar, serta sepatu kebesaran, sehingga tubuh kurusnya tenggelam dalam busana sendiri. Dengan begitu percaya diri, dia menghampiri seorang gadis.
Oh, baginya gadis itu sangat cantik, semua orang juga berpikiran sama. Dia adalah bintang sekolah, apa pun yang dikenakannya tidak penting, dia selalu terlihat sempurna. Seikat bunga sudah disiapkan, lantas terulur mantap begitu si gadis berbalik.
Ia berharap sesuatu yang baik terjadi. Harapannya terkabul, Gadis itu menyunggingkan senyum. Dengan gerakan patah-patah tangannya terulur untuk menerima seikat bunga yang entah apa namanya. Sampai sebuah suara terkikik sahut-menyahut mengacaukan momen manis itu.
“Kamu yakin mau menerima bunga itu? Bisa saja dia mencurinya, kan?”
“Jangan-jangan kamu mau dijadikan kambing hitam.”
“Hati-hati ... anak-anak skater terkenal berandalan, loh.”
Tangan yang sempat terulur, perlahan ditarik ke tempat semula, bersamaan dengan senyum manis yang memudar. Begitu saja, dia pergi meninggalkan pemuda itu dengan tangan terulur masih menggenggam seikat bunga. Entah siapa yang akan menerima bunga-bunga itu.
Perjuangannya tidak sampai di situ. Sebuah malam pertunjukan di auditorium megah, di mana semua orang mengenakan setelan licin dan dasi kupu-kupu. Si anak skater datang bersama pasukannya. Mereka memang memakai kemeja, tapi percayalah kemeja itu bahkan lebih butut daripada baju belel mereka.
Dia memimpin pasukannya berteriak keras-keras, mengucapkan kekaguman dan selamat untuk gadis itu. Jujur saja, dibandingkan tepuk tangan seluruh penonton auditorium, hanya si anak skater yang bisa membuatnya tersenyum.
Gadis itu bisa saja turun dari panggung, dan memeluk pemuda itu erat-erat, tapi puluhan pasang mata sinis, serta ekspresi jijik dari penonton lain menular kepadanya, senyumnya lagi-lagi menghilang. Digantikan sorot sendu yang sebenarnya tidak ingin ada di sana.
“Anak-anak skater selalu membuat masalah.”
“Bagaimana mereka bisa masuk? Menyelinap? Jangan-jangan merusak pintu depan!”
“Seseorang panggil keamanan, usir mereka dari sini!”
Alih-alih mengikuti kata hati, gadis itu lebih percaya dengan kedua telinga yang dipenuhi berbagai gong-gongan anjing di malam purnama. Sambil mengangkat dagu, gadis itu berbalik dan meninggalkan panggung. Menyisakan ekspresi kecewa di wajah si anak skater yang sama seperti hari-hari lalu.