“Semua laki-laki menyebalkan. Mereka seperti singa yang tidak pernah puas. Semenit lalu memberi perhatian pada seseorang, menit berikutnya mencurahkan perhatian kepada orang lain. Mereka pikir hati perempuan hanyalah penginapan murahan yang boleh datang dan pergi semaunya.” Gadis itu terus mengoceh selagi tangan kanannya memegang permen lolipop.
“Ya, itu sebabnya aku tidak suka laki-laki,” jawabku asal.
“Tapi Nick tidak begitu!” sergahnya langsung dengan wajah berbinar.
“Nick, kan juga laki-laki,” balasku setelah menghela napas, “cepat atau lambat dia akan melakukan hal yang sama seperti laki-laki lain di planet ini!”
“Tapi dia berbeda. Dia baik, perhatian, dan jujur. Mustahil dia membuatku sakit hati.”
“Ayolah, Elli ....”
“Mustahil dia membuat sakit hati perempuan mana pun.”
“Dia laki-laki!” Kali ini aku menekan satu kalimat itu saking geramnya. “Sudah naluri laki-laki ketika bosan akan mencari yang baru.”
“Kau juga laki-laki, kenapa tidak pernah pergi dariku?”
Pertanyaan itu membuatku diam seribu basa. Udara dingin musim penghujan berembus semilir, tapi suhu tubuhku justru bertambah.
“Ya ... karena aku belum bosan,” jawabku seraya mengusap tengkuk, menyembunyikan wajah yang panas.
“Kenapa kau tidak kunjung bosan?”
“Karena ....” Sial, kenapa pertanyaan sederhana bisa membuatku begitu gugup. “Karena aku me ....”
Belum sempat menyelesaikan kalimat, Elli memasukan lolipop di tangannya ke dalam mulutku.
“Ya aku tahu, El. Karena kau kembaranku, kita tidak akan pernah bosan satu sama lain. Benar, kan?”
Setelah mengatakan itu ia merangkul lenganku, lantas berlari bersama menerjang gerimis.
Sebenarnya bukan itu yang ingin kukatakan barusan, Elli!
Perenalkan, namaku Elliot, gadis yang bersamaku barusan adalah Ellinor. Kami bukan saudara, tapi kami kembar. Kalian tidak perlu bingung, orang-orang menyebut kami Twister Twins, karena aku dan Elli lahir dari orangtua yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali, tanggal dan hari lahir kami pun berbeda jauh.
Elli lahir bulan Maret dan Aku menyusul bulan berikutnya, tapi wajah kami sangat serupa. Warna rambut yang sama-sama cokelat keemasan, pupil hitam pias yang serupa. Bahkan tinggi dan berat badan kami nyaris sama.
Aku berani jamin kalian akan kesulitan membedakan kami saat mengenakan jaket atau hoodie dengan penutup kepala. Ya, memang seidentik itu. Orang tua kami memperlakukan kami selayaknya anak kembar, dan itu terbawa sampai sekarang.
Berbagi lolipop seperti tadi adalah hal biasa bagi aku dan Elli, kami bahkan sering mandi bersama. Hey, jangan melihatku begitu! Tentu saja itu terjadi saat usia kami masih kecil! Kalian pikir aku laki-laki seperti apa!
Aku dan Elli saling menyayangi tentunya. Hanya saja ... Definisi ‘sayang’ kami sedikit berbeda. Elli menyayangiku sebagai saudara kembar, sedangkan aku menyayangi gadis itu sebagai Peter Pan kepada Wendy, yang tidak akan bisa bersama.
Aku tidak yakin kapan perasaan itu muncul, entah sudah lama atau baru akhir-akhir ini. Aku tidak mau terlalu lama jauh dari Elli, memikirkannya setiap malam, bahkan menjadi sangat sensitif jika dia sedang membicarakan laki-laki lain.
Sayangnya, Ellinor adalah gadis yang sangat mudah jatuh cinta. Dia bisa mencintai siapa pun hanya dengan sekali tatap. Anehnya dia tidak bisa begitu kepadaku. Nick adalah orang yang ditaksir Elli belakangan ini, hanya karena pemuda pirang itu mengembalikan ikat rambutnya yang jatuh.
Elli langsung melihatnya sebagai pahlawan tak berkuda. Bercerita tentang pemuda itu hampir setiap saat. Bagaimana mereka berpapasan, bertukar nomor, saling meminjam buku, bahkan hal apa saja yang menjadi bahan obrolan mereka. Sejujurnya aku mulai bosan, dan kesal. Sangat kesal!
“Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya, El? Ada sepucuk bunga mawar di dalam lokerku, dan sebuah memo tulisan tangan Nick,” ceritanya penuh semangat saat jam makan siang.
Aku yang acuh tak acuh mendengarnya hanya mengangguk sekilas.
“Dia benar-benar pemuda yang manis.” Elli melanjutkan sambil menerawang seperti orang gila.
Nick benar-benar racun! Dia membuat Elli tidak menyentuh makan siangnya sama sekali. Padahal menu hari ini adalah ikan dan kentang goreng. Elli tidak pernah cukup dengan kedua makanan itu, sekarang dia justru mengabaikannya.
“Ya, dia memang manis, tapi bukankah kau sering mendapatkan hadiah lebih dari sekuntum bunga yang mudah layu?” ujarku sedikit ketus. “Seperti buku baru, roti isi, kartu ucapan semangat. Itu jauh lebih berharga.”
“Memang benar, tapi ini berbeda,” jawab Elli.
“Berbeda bagaimana? Semua hadiah itu jelas lebih berguna untukmu, lebih berharga daripada sekuntum bunga bodoh!”
Elli mengernyit menatapku.
“Dan mungkin saja seseorang yang memberikan hadiah-hadiah itu, menyayangimu lebih daripada Nick.”
“Ayolah, Elliot, aku hanya sedang naksir seseorang, hargai perasaanku, dong,” kata Elli dengan entengnya.
“Kau sendiri pernah tidak menghargai perasaan orang?” seruku tanpa sadar dengan nada tinggi. “Jauh sebelum Nick, ada seseorang yang menyayangimu lebih dari apa pun, mengenalmu lebih dari siapa pun. Apakah kau tahu siapa dia? Apa kau peduli padanya? Apa kau menghargai perasaannya?”
“Ada apa denganmu, Elliot?” lirih Elli sambil melirik kanan-kiri, beberapa orang memperhatikan. “Aku begini karena sedang ... jatuh cinta saja. Karena tidak pernah ada yang memperlakukanku begini selain Nick.”
“Tidak ada? Lantas yang di hadapanmu ini apa?”
Aku menggeser bangku, dan membawa nampanku pergi, meninggalkan Ellinor sendirian termangu di mejanya. Memang tidak seharusnya aku bertingkah seperti itu, apa lagi kepada Elli. Namun, tidak dapat disembunyikan lagi.
Aku mencintai Elli, dan aku sangat cemburu saat dia melakukan itu. Memuji pemuda lain, mengatakan dia mencintainya di depanku, pemuda asing yang bahkan tidak cocok untuk menjadi temannya.
***
Bodohnya aku. Merajuk dan meninggalkan Elli sendirian saat seharusnya berbasa-basi agar kami bisa pergi ke pesta prom bersama. Biasanya aku tidak sekhawatir ini karena Elli memang selalu pergi bersamaku.
Namun, melihat betapa banyaknya pemuda yang ditaksir Elli selama SMA, dan kemungkinan besar mereka juga menyukai gadis itu, aku jadi takut. Apa lagi kehadiran Nick bodoh itu di antara kami. Harus kuakui bocah pirang itu saingan yang berat.