“Kau tidak harus mengantarku ke kelas, tahu!” kataku berusaha menjaga jarak sejauh mungkin dari pemuda di sebelah. Namun, orang itu justru merangkul bahuku.
“Percayalah, Dorky. Kalau kau tahu betapa payahnya dirimu, kau akan mencium kakiku penuh syukur karena mengantarmu ke kelas.”
Sekali lagi aku membuang napas kasar. Adam adalah tipe manusia yang berlebihan dalam memandang segala hal. Dia percaya sekolah adalah tempat yang jahat, terutama untuk anak kecil sepertiku.
Bahkan melupakan fakta bahwa anak kecil yang dia maksud sudah berusia lima belas tahun. Ini hari pertama sekolah, dan dia bersikukuh mengantarku ke kelas, padahal sudah kularang berkali-kali. Akhirnya aku di sini sekarang, di depan pintu kelas dengan Adam di sisiku.
“Cukup sampai di sini, Adam! Aku akan baik-baik saja,” desakku agar ia segera pergi.
“Tentu saja ....” Bukannya pergi, pemuda itu justru membuka pintu selebar mungkin dan merangkulku masuk.
“Dengarkan semuanya!” serunya begitu keras sampai menarik perhatian seisi kelas.
“Kalian beruntung, karena mendapat kelas yang sama dengan adikku.” Adam menepuk kepalaku, yang memasang ekspresi jengkel sejak tadi. “Aku harap kalian bersikap baik kepadanya, kalau tidak ingin mendapat masalah!”
Beberapa pasang mata yang memperhatikan mulai berbisik, entah apa yang mereka bicarakan, hanya desas-desus beraura negatif yang tertangkap telingaku. Setelah mengusap wajah, aku menepis rangkulan Adam.
“Sudah puas? Kau akan pergi sekarang?”
“Tentu ... kalau ada yang mencari masalah denganmu, bilang saja padaku, ya. Akan kuberi orang itu pelajaran!” Adam berseru penuh ancaman tersirat. Dia mengacak rambutku, lantas pergi sambil bersenandung.
Inilah bagian paling menyebalkan setiap kali Adam mencampuri urusanku—Tatapan orang-orang yang penasaran. Aku paling benci menjadi pusat perhatian, tapi Adam selalu memosisikan diriku sebaliknya. Aku memilih bangku paling belakang, satu-satunya tempat aman di dunia. Saat beberapa anak mulai mendekat, aku memakai tudung jaket lalu merunduk berpura-pura tidur.
***
Saat usiaku delapan, nenek memberikan satu set besar miniatur kereta api uap sebagai hadiah tahun baru. Setelahnya, waktu senggangku selalu habis untuk membongkar pasang benda malang itu. Termasuk hari ini, selepas sekolah aku sibuk menyusun satu demi satu jalur kereta, membuat sebuah jalur lintasan baru.
Ketika sedang asik dengan dunia sendiri, tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Aku menoleh malas, kira-kira siapa di luar? Aku sangat penasaran. Tunggu ... tidak juga. Pintu kamarku terbuka.
“Hai, Illy, kau sedang apa?” Itu Adam—tentu saja. “Masih pura-pura menjadi arsitek?”
Belum kusuruh, anak konyol itu sudah masuk dan berbaring di ranjang. Ia mengambil rubik di atas meja kecil dan mulai memainkannya.
“Jadi kau sudah punya geng?” Ia memulai.
“Hmm-hmm,” gumamku mengiyakan.
“Apa nama gengmu? Berapa jumlah orangnya?”
“Namanya adalah Perserikatan Masa Bodoh. Jumlah orang ... satu,” jawabku asal. “Tiga jika malaikat penjagaku dihitung.”
Adam tersentak sampai menjatuhkan rubiknya ke lantai, lalu duduk di sebelahku.
“Ini sudah hampir dua minggu ...,” gumamnya. “Ada yang menjahilimu, ya? Menindasmu? Mengejekmu?”
“Tidak, tidak, dan tidak.”
“Lalu kenapa kau tidak kunjung mempunyai teman?”
“Entahlah. Tidak ada yang mau.”
Aku bisa mendengar Adam mengembuskan napas panjang.
“Mungkin kalau kau berusaha! Bersosialisasi agar mendapat teman, bukannya bermain dengan kereta bodoh ini dan membaca buku setiap saat!” imbuhnya dengan intonasi tinggi.
“Aku bersosialisasi! Hanya saja kupikir hidup akan lebih mudah tanpa teman, mereka hanya merepotkan saja!” balasku juga dengan nada tinggi. “Dan ini bukan mainan, tapi miniatur!”
“Manusia tidak bisa hidup sendiri, Dorky! Teman mungkin bisa menyelamatkanmu dari masa-masa sulit!” seru pemuda itu.
Aku menoleh, dan mendapati ekspresi Adam yang penuh kekhawatiran.
“Oh. Masa?”
Kelopak mata kiri Adam berkedut kesal ketika aku mengatakan itu. Ia bangkit dan menunjuk hidungku.
“Kau tahu ... Senin nanti temui aku sepulang sekolah. Kau tidak bisa terus seperti ini!”
“Hei, kau tidak bisa melakukan itu seenaknya kepadaku!” Aku berseru selagi ia berjalan menuju pintu.
Setelah sampai di ambang pintu pemuda itu berbalik. “Tentu saja bisa, aku lebih tua, aku bebas melakukan apa saja, dan kau harus menurut,” katanya, kemudian pintu tertutup dengan keras.