Impy Island

Impy Island
Chapter #16

The Greatest Place

“Victoria, Ibu tidak percaya kamu masih tidur! Hari ini ada kompetisi berkuda, ingat?”

Gadis yang sedang berbaring di ranjang mengernyit silau saat sang ibu membuka gorden. Wanita itu lantas menarik paksa anak perempuannya sampai terduduk, lalu menepuk-nepuk pelan pipinya agar ia membuka mata lebih lebar.

“Cepat mandi dan bersiap. Lima belas menit harus sudah beres!” perintah wanita itu.

Victoria mengusap wajah malas, setelah dipaksa melakukan peregangan sampai larut malam hingga seluruh persendiannya nyeri, ia berharap bisa istirahat lebih lama, setidaknya sampai pegal-pegal di persendian ini hilang seutuhnya.

Setelah merebahkan kepala beberapa detik lagi, gadis itu akhirnya bangkit dan masuk ke kamar mandi. Sudah lima menit terlewat, berarti sisa sepuluh menit lagi. Namun, Victoria tidak terlalu memikirkannya.

***

Dua puluh menit kemudian, Victoria muncul di hadapan keluarganya dengan seragam berkuda lengkap berwarna putih, dengan rambut dikepang dua, dan ikat pinggang hitam. Lengan kirinya menenteng sebuah pelindung kepala berwarna cokelat gelap.

Sang ibu sudah menautkan alis, siap mengomel akibat keterlambatan sepuluh menit itu, tapi gadis lain yang berwajah bak pinang di belah dua dengannya segera berseru.

“Nah, ini dia calon juara kita!” Veronica bertepuk tangan kecil dengan riang, ia adalah kakak Victoria yang usianya terpaut tujuh tahun.

Victoria membuat salam hormat ala putri kerajaan untuk menyembunyikan rasa tersanjungnya.

“Sini duduk di sebelah Ayah.” Pria paruh baya yang rambut klimisnya di dominasi warna perak ikut bicara. Saat gadis itu duduk, sang ayah segera mencium puncak kepalanya. “Sudah siap untuk kompetisi?”

“Entahlah, Ayah, aku sangat gugup,” jawab Victoria, murung.

“Kenapa? Kau adalah penunggang kuda yang andal. Ayah yakin kau akan mendapatkan medali hari ini.”

“Bukan sekadar medali, tapi medali emas,” sambar sang ibu. “Benar, kan, Victoria?”

Senyum pada wajah Victoria memudar, dan suasana di meja makan seketika hening, sampai Ayah berdeham.

“Apa pun medali yang didapat Victoria akan tetap membanggakan ayahnya,” ujar pria itu seraya menjawil dagu sang anak, dan membuatnya tersenyum kembali.

“Percuma berlatih keras selama berminggu-minggu jika tidak mendapatkan posisi terbaik,” ketus sang ibu, “dan posisi terbaik, pastinya yang pertama.”

Sang ayah melempar tatapan tajam kepadanya. “Sudahlah, Emma.”

“Apa? Aku hanya mengingatkan.” Wanita itu beralih kepada Victoria. “Habiskan sarapanmu, dan minum vitamin.”

“Ibu, aku sudah meminum vitamin itu semalam ...,” keluh Victoria, melihat segelas minuman kental berwarna hijau yang rasa pahitnya menempel di kerongkongan.

“Itu vitamin yang berbeda!”

Gadis itu menatap sang ayah dengan pupil mata melebar, meminta pertolongan.

“Victoria pergilah keluar, sepertinya bis jemputanmu sudah datang.”

“Benarkah? Baiklah aku pergi dulu!” Ia meneguk susu secepat mungkin, lantas mencium pipi ayah dan kakak perempuannya, lalu pergi dari ruang makan.

“Kenapa kau lakukan itu, Emma?” tukas Niel.

“Aku memberi vitamin agar staminanya stabil selama kompetisi berlangsung,” jawab sang istri cuek.

“Bukan ... maksudku semua kata-kata itu, nada bicaramu. Untuk apa semua itu?”

“Agar anak itu mempunyai tekad menang, dia harus tahu kalau kompetisi ini benar-benar penting untuknya!”

“Tekad menang apanya? Kau justru memberinya tekanan, dan membuatnya gugup, tahu!”

“Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk anakku. Bukan seperti kau yang bisanya memanjakan saja! Pokoknya kali ini biar aku yang menentukan bagaimana masa depan anak kita, aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama pada Victoria.”

Veronica mendorong kursi dengan kasar, menatap sinis kepada sang ibu. “Aku akan menyusul Victoria,” katanya seraya membawa sepotong roti isi.

Pasangan suami istri itu saling melempar tatapan menyalahkan. Jika tadi suasana meja makan terasa canggung, sekarang bertambah canggung dengan perginya anak-anak. Tak lama, Niel—sang suami—memutuskan untuk ikut meninggalkan meja makan, menyisakan sang istri yang kesusahan menelan sarapan karena perasaan bersalah.

***

Veronica menyusuri lapangan gersang demi menghampiri adiknya. Gadis itu sedang mengelus surai seekor kuda putih dengan bercak hitam di seluruh tubuhnya, sambil sesekali membisikan sesuatu.

“Hai, Vee ....” Veronica ikut mengelus surai si kuda. “Bagaimana keadaan Freckles?”

Lihat selengkapnya