“Kita main game ‘pilih cepat’, yuk?” Seorang gadis berkuncir dua memberi usul. “Siapa yang mau mulai duluan?”
Keempat temannya saling tunjuk dengan ricuh. Namun, gadis lain yang terlihat paling tenang mengacungkan tangan—menawarkan diri.
“Oke, Vidya duluan, ya!”
Semua orang serempak diam ketika Ashlin—gadis yang mengusulkan permainan—mengusap dagu, berpikir.
“Coklat atau vanila?” Ia memulai.
“Vanila!” jawab Vidya mantap.
“Rok atau celana?”
“Rok!”
“Manis atau asin?”
“Asin!”
“Tampan atau Kaya?”
Vidya berpikir cukup lama, lalu menyeringai. “Kaya!”
Jawaban itu membuat ketiga anak-anak laki-laki yang bermain bersama mereka menjadi ricuh, menyerukan kata “Matre!” kepada gadis itu.
“Apa?” Ia membalas sambil terkekeh. “Makan wajah tampan tidak akan kenyang, tahu!”
“Baiklah-baiklah, sekarang pertanyaan yang paling susah,” kata Ashlin. Ia membuat suaranya menjadi lebih rendah dan mencekam.
“Abi atau Rey?”
Lagi-lagi semuanya bergumam rendah. Bagaimana tidak, Abi adalah sahabat Vidya sejak kecil, sedangkan Reyhan adalah kakak kandungnya sendiri. Keduanya bisa dibilang orang-orang paling berarti dalam hidup Vidya.
Kira-kira siapa yang akan gadis itu pilih. Dua orang yang namanya disebut pun harap-harap cemas, diam-diam ingin namanya disebut. Mereka pikir akan cukup lama menunggu Vidya memutuskan dua pilihan ‘sulit’ itu, tapi ternyata gadis itu dengan mantap menjawab.
“Abi!”
“Abi?” ulang Reyhan dengan nada tidak terima, “kenapa?”
“Karena dia memang pantas dipilih,” balas Vidya, tiba-tiba menjadi sedingin es.
“Wah, baru kali ini ada adik yang sedingin itu sama abangnya,” sindir Reyhan. “Kalau bukan aku, yang menjagamu nanti siapa, hah!”
Tangan pemuda itu terulur untuk menjitak adiknya, tapi Vidya segera menepis, terlihat sangat terganggu.
“Asal tahu saja ya, Pak! Banyak orang yang menjagaku selama ini ...,” gadis itu merangkul lengan kedua temannya di sisi kiri dan kanan. “Rudy selalu menjagaku, Ashlin apa lagi. Oh tapi, Guardian Angel-ku yang terbaik adalah Abi,” lanjutnya seraya memeluk pemuda itu dengan erat.
“Kalau bukan karena Abi, masa kecilku akan terasa seperti di neraka.” Vidya mengatakan semua itu dengan ketus, penuh sindiran.
“Mentang-mentang sudah banyak teman jadi sombong, ya sekarang,” imbuh Reyhan, gerak-geriknya sudah tidak enak sejak tadi.
“Sejak kapan kau peduli aku punya teman atau tidak?”
Suasana menjadi canggung. Mereka semua tahu hubungan Vidya dan kakaknya tidak terlalu baik, entah apa yang terjadi di antara mereka. Meski begitu keduanya tidak pernah menonjolkan permusuhan itu di depan teman-teman.
Sekarang mereka malah melakukannya ketika sedang berkumpul bersama, saat-saat yang seharusnya penuh canda-tawa dan keseruan. Perubahan wajah Reyhan sangat kentara saat ia mengusap wajah dengan kedua tangan. Tidak ingin suasana menjadi lebih buruk, pemuda itu bangkit dan berpamitan kepada yang lain.
“Wah, kayaknya Rey terpukul banget, tuh,” bisik Ashlin.
“Biar! Siapa suruh ikut kumpul bareng teman-teman aku! Dasar sok akrab!” Vidya melipat tangan di depan dada.
Ashlin merapikan rambut ikalnya dengan sisir kecil yang selalu ia bawa, lalu memoles bibirnya dengan lipstick merah muda. “Aku susul dia, ah!” katanya.
“Ashlin, jangan!” Vidya memperingati.
“Kenapa? mungkin dia butuh teman bicara. Itu tugasku sebagai calon kakak iparmu, Vidya.”
Rudy menarik gadis itu agar kembali duduk. “Jangan ngaco. Duduk diam-diam!”
“Tapi sebentar lagi dia kuliah di luar negeri! Aku mau menghabiskan waktu berdua selama mungkin dengan cowokku!” rengek Ashlin.
Sejak pertama berkenalan, gadis centil itu langsung menyukai Reyhan, terlihat dari ekspresi tertegun yang penuh arti seolah kedua bola matanya berubah menjadi bentuk hati seperti di kartun-kartun.
Ashlin tak segan menunjukan rasa sukanya di depan umum. Reyhan pun tidak pernah bilang bahwa ia menyukai balik, tapi pemuda itu kelihatannya tidak terganggu dengan kecentilan Ashlin, malahan terlihat menikmatinya.