Aku sangat mengidolakan pahlawan super. Aku tahu segala hal tentang mereka, tidak pernah sekali pun melewatkan film-film layar lebar tentang kisah-kisah heroik mereka. Bahkan aku menyimpan banyak sekali poster pahlawan super yang tertempel memenuhi dinding kamar.
Ada Superman dengan pancaran mata lasernya, Wonder Woman yang istimewa, Captain America si bijaksana serta berjiwa pemimpin, dan yang paling kukagumi adalah Hulk, dengan kekuatan fisik yang luar biasa dahsyat.
Para pahlawan super lebih suka bekerja sendiri, tapi di sebuah kesempatan ketika kejahatan sudah benar-benar merajalela sehingga mustahil ditangani sendirian. Mereka akan bergabung menjadi satu kelompok, dan berkerja sama dalam memberantas kejahatan, bergotong-royong demi mencapai tujuan yang sama.
Aku selalu ingin berjumpa dengan mereka, dalam fantasi terliar bahkan ingin menjadi salah satu dari mereka. Diam-diam aku sering mengkhayal dengan sebuah tongkat panjang, menganggap diriku sendiri sebagai seorang pahlawan super dengan pedang sakti.
Tidak bisa dipungkiri, merekalah yang kukagumi, tidak bisa digambarkan lagi dengan kata-kata. Aku teringat hari dimana aku menginginkan sebuah mainan berbentuk pahlawan super kesukaanku yang terpajang bersinar-sinar di etalase toko.
Aku merengek seharian, merajuk sampai tidak mau makan sebelum mainan itu berada di tangan. Ketika rajukanku semakin parah, ayah justru tidak pernah terlihat di rumah. Dia selalu berangkat subuh, dan pulang larut seolah tidak peduli denganku. Setiap kali ibu menghampiri dan menyapa pun, aku tidak memedulikannya, selalu mendengkus, atau membuang wajah.
“Sabarlah, Nak. Ayah sedang mengusahakannya,” kata Ibu suatu hari sambil mengelus kepalaku.
“Tapi sampai berapa lama?” rengekku.
“Sampai dia memiliki cukup uang untuk membelinya.”
“Pasti sangat lama!” sahutku ketus. Mengingat harga mainan itu cukup mahal. Sedangkan ayah hanya seorang buruh kasar.
Ibu tersenyum menanggapi. “Tidak akan sampai puluhan tahun,” katanya lembut. “Nah, kau juga bisa membantu. Dengan cara mengantarkan makanan ini ke tempat Ayahmu, agar dia mendapatkan tenaga lebih untuk bekerja.” Ibu melanjutkan seraya memberi sebuah rantang.
Aku menerimanya dengan dongkol, lantas bergegas menuju tempat kerja Ayah. Aku tersungut-sungut sepanjang jalan, menendang-nendang krikil kecil malang sebagai pelampiasan kekesalan. Ayah bekerja di sebuah proyek pembangunan besar di kota dari pagi sampai sore hari.