Aku benci!
Tanpa memedulikan teguran ibu, kakiku menaiki tangga, dan segera masuk kamar. Air mata ini tidak bisa dibendung lagi, dan aku sangat malas menjawab pertanyaan-pertanyaan ibu yang selalu mengintimidasi. Sudah cukup buruk hariku di sekolah, tidak perlu bertambah buruk lagi di rumah.
Sungguh menyakitkan rasanya, melihat sahabat terdekat justru berkhianat di depan mata. Oh, mungkin mereka berencana melakukannya sembunyi-sembunyi, hanya saja mereka terlalu bodoh jika berpikir itu akan berhasil.
Di sekolah tadi, tepat setelah bel pulang berbunyi. Belum sempat melangkah terlalu jauh dari gerbang, Gabriel menarikku ke sebuah dinding. Aku tidak pernah menyukai gadis penggosip itu, jadi sebisa mungkin melepaskan diri dari rangkulannya.
Sayangnya, Gabriel adalah manusia titisan gurita, rangkulannya begitu erat, menghisap seperti tentakel. Ketika gadis itu menunjuk jauh ke depan, aku menemukan hal yang lebih parah dari nilai nol pada mata pelajaran matematika.
“Lihat itu, Terry!” Jari lentik Gabriel teracung ke arah sepasang remaja yang berjalan bersebelahan sambil terus bercakap-cakap.
Mataku melebar saat menyadari siapa dua orang itu.
“Samantha dan Troy pergi bersama. Bukannya Sam itu sahabatmu? Dan Troy pacarmu? Kenapa mereka pergi berdua? Kelihatan mesra pula.”
Aku menyadari nada memanas-manasi dari ucapan Gabriel. Aku tidak akan termakan hasutan kalau saja tadi Sam dan Troy tidak menolak ajakanku secara bersamaan. Keduanya juga terbata-bata begitu aku tanya kenapa.
Kupikir itu hal wajar, meskipun cukup menjengkelkan, mengingat besok adalah hari ulang tahunku. Ternyata inilah alasannya. Api kecemburuan membuatku punya tenaga lebih untuk meloloskan diri dari rangkulan Gabriel, kuentakkan kaki kuat-kuat tanpa mengatakan apa-apa.
Ini sangat menyakitkan, Sam sudah menjadi sahabatku sejak masih sangat kecil, dia tidak pernah sekali pun jahat kepadaku. Namun, sekali berbuat jahat dia tidak main-main. Troy pula, kenapa harus Sam? Kenapa harus sahabatku sendiri?
Bukankah kita berjanji akan saling mencintai. Setidaknya sampai masa sekolah selesai? Ke mana perginya semua ucapan manis itu.
Aku benci Sam, aku benci Troy!
Sepanjang sisa hari, kamarku benar-benar terkunci rapat. Tidak makan, tidak mandi, tidak semangat melakukan apa pun selain menangis sampai bola mata rasanya akan keluar. Ibu beberapa kali menggedor pintu, tapi kubiarkan sampai ia lelah. Aku ... juga sedang lelah menghadapinya. Sesekali tidak menjadi anak penurut, rasanya bukan masalah besar.
***
Perutku terasa sangat lapar pagi ini, menyesal juga tidak makan kemarin. Kepalaku pening, kedua mata membengkak akibat terlalu banyak menangis. Tadinya aku hanya menangisi hubungan gelap Sam dan Troy.
Tiba-tiba saja otak memikirkan hal lain, yang bahkan membuat airmataku mengalir semakin deras. Untungnya sekarang hari minggu, tidak perlu bangun terburu-buru. Setelah mandi, aku turun ke ruang makan untuk sarapan. Meskipun waktu sarapan sudah lewat beberapa jam lalu.
“Teresa, ibu tidak suka sifatmu kemarin!” Ibu mengatakan itu bahkan sebelum aku duduk di kursi.
“Maaf, Bu. Aku sangat lelah kemarin,” jawabku sekenanya.
Ibu memandangiku sebentar. “Tidak ada yang mau kau ceritakan?”
Aku menggeleng sebagai balasan.
“Kau tidak harus merahasiakan apa pun pada Ibu, kau tahu itu, kan?”
“Aku baik-baik saja, Bu!” entakku.
“Masa ... matamu membengkak loh, pasti terjadi sesuatu. Bertengkar lagi dengan Troy?”
Mendengar nama itu, emosiku kembali meluap. “Aduh berisik sekali! Sudah dibilang aku baik-baik saja!”
Ibu sedikit tersentak, lantas menghela napas, akhirnya memutuskan fokus pada roti panggang dan selai di depannya. Suasana menjadi canggung, tapi aku tidak menyesal, yang penting wanita itu berhenti bicara. Ayah dan adik laki-lakiku—Timothy—tidak terlihat di mana pun. Aku putuskan untuk tidak bertanya, toh suasana menjadi lebih damai tanpa mereka.
Setelah makan, aku kembali ke kamar, duduk di hadapan meja belajar, dan menatap ke luar jendela. Sam menghubungiku ratusan kali, begitu juga Troy. Mereka pikir aku akan menjawab dengan ramah-tamah? Setelah apa yang mereka lakukan padaku? Jangan harap!
Mobil putih perlahan memasuki teras, itu mobil ayah. Ternyata ia pergi, mungkin bersama Timothy. Saat keduanya serempak keluar dari mobil, aku tahu tebakanku benar. Seperti biasa mereka selalu kompak berdua.
Pergi kemana-mana tanpa repot-repot menawariku ikut serta. Ibu bilang karena mereka laki-laki, kegiatan mereka tidak akan cocok denganku. Padahal semua orang tahu, memang Timo-lah anak emas di keluarga ini.
Tiba-tiba ayah juga mengeluarkan sebuah sepeda dari bagasi mobil, sepeda gunung lipat yang selama ini aku impikan. Untuk sesaat senyumku mengembang, mungkinkah pada akhirnya kemauanku benar-benar dikabulkan? Sayangnya senyum itu tidak bertahan lama, tepatnya setelah melihat Timothy berjingkrak senang di hadapan sepeda itu.
Tunggu dulu, jangan-jangan ayah membelikan sepeda itu untuk Timo? Padahal aku sudah memintanya sejak tahun lalu. Tanpa sadar tanganku mengepal begitu keras, ayah membuat gestur ‘jangan berisik’, pada Timothy, lantas membawa sepeda itu pergi entah ke mana.
Air mataku lagi-lagi keluar tanpa bisa ditahan, mewakili iri, amarah, kesal, dan sedih yang kurasakan sekarang. Kenapa? Kenapa selalu keinginan Timo yang dituruti, mereka pikir aku tidak punya perasaan!
Aku benci ayah, aku benci Timo!
Aku harap bisa pergi dari sini. Pergi ke tempat di mana aku bisa bersenang-senang, sebuah tempat di mana aku diperlakukan istimewa, menjadi yang pertama, bukan terakhir. Bahuku bergetar menahan tangis. Terlalu sibuk dalam perasaan sampai tidak memedulikan aroma jeruk yang datang tiba-tiba.
Ketika aroma itu semakin menusuk, barulah aku menoleh, dan mendapati sebuah buku. Buku bersampul cokelat usang, dan beraroma persis seperti jeruk. Penasaran, aku meraih buku itu. Halaman pertama berisi sebuah kalimat.
Harapan adalah mimpi yang akan terwujud.
Lalu di halaman kedua ada gambar seorang gadis, dia terlihat seusiaku, berdiri menghadap belakang. Aku tidak ingat punya buku kuno seperti ini. Saat perhatianku semakin dalam padanya, gadis itu menoleh. Aku terkejut bukan main. Setelah mengucek mata, aku kembali memfokuskan mata pada gadis itu, berharap yang tadi hanya sebuah ilusi.
“Hai, namaku Leaney,” sapa gadis itu.
Reflek aku melempar buku itu jauh-jauh. Barusan itu apa? Buku yang hidup? Ilusi mata? Hantu?
“Jangan takut, aku bukan hantu, aku hanya seorang gadis di dalam buku.” Lagi-lagi gadis itu bicara.
Aku mendekatinya perlahan, dan gadis di dalam buku. Siapa namanya tadi? Leaney, sudah bukan lagi sebuah gambar.
“Kau terlihat sedih. Kau punya masalah?”
Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutku, hanya kelopak mata melebar, dan tubuh yang sedikit gemetar.
“Kau bisa menceritakan segala hal denganku, aku senang hati mendengarkan.”
Aku sadar semua ini hanya mimpi. Aku pasti tengah tertidur pulas di meja belajar, dan tidak ada salahnya bercerita pada mimpimu sendiri, bukan? Apa lagi setelah Sam bodoh itu mengkhianatiku, aku tidak yakin bisa mencurahkan isi hati padanya lagi.
Perlahan aku mengangkat buku itu, mencoba rileks. Toh Leaney tidak berwujud seram, malahan dia sangat cantik dengan rambut cokelat sepanjang paha, terlihat halus sekali, matanya hijau bersinar, pancarannya sangat tulus.
“Ya ... a-aku memang punya sedikit masalah belakangan ini,” jawabku setelah jeda panjang.
“Ceritakanlah padaku.” Kali ini Leaney mengulurkan tangan.
“Ikut denganmu ke dalam sana? Tidak akan!”
“Jangan khawatir, kita akan kembali sebelum semua sadar akan kepergianmu.”
Aku yakin wajahku masih pucat, dan aku terus menggeleng kecil.
Leaney tertawa. “Percayalah, ini bukan buku terkutuk. Kau bisa masuk dan keluar sesuka hati.”
Memercayai gadis misterius dalam buku ajaib, atau memercayai akalku yang tidak terlalu sehat akhir-akhir ini, kedengarannya sama saja. Toh ini hanya mimpi, jika sesuatu yang buruk terjadi aku akan segera bangun. Perlahan aku menerima uluran tangannya, dingin, tapi nyaman, membuatku lebih yakin.
Poof
Rasanya aneh saat melewati batas dua dunia. Kakimu akan memijak tanah, tapi tubuhmu terasa melayang di udara. Sedetik kemudian saat membuka mata, Leaney sudah di depanku, tersenyum sambil memegang kedua tanganku begitu erat.
“Hai, senang akhirnya bisa bertemu langsung denganmu, Terry!”
“Kau tahu namaku?”