Tersebutlah sebuah kerajaan makmur nan sejahtera di sebelah Barat Samudera, dipimpin oleh seorang Raja arif nan bijaksana bernama William Rufus.
Sang Raja mempunyai empat orang pangeran yang lahir dengan jarak waktu begitu singkat. Keempatnya gagah dan tampan, masing-masing mewarisi bagian tubuh dan sifat-sifat terpuji sang ayah.
Edward si sulung mewarisi manik hijau kekuningan teduh milik ayahnya, ia pandai merangkai kata-kata, bernegosiasi, bersilat lidah serta urusan politik lain yang berhubungan dengan kerajaan.
Edwig anak kedua yang mempunyai warna rambut keperakan sang ayah. Pria itu ahli membuat strategi, otaknya seolah terbuat dari campuran emas dan berlian, tak ada yang tidak diketahuinya.
Edmund, anak ketiga yang berpostur tinggi besar persis sekali ayahnya. Ia sangat kuat, ditambah keahlian berpedang yang membuatnya selalu diandalkan untuk berada di baris depan ketika berperang.
Terakhir si bungsu Edgar yang mewarisi struktur wajah jenaka Raja William. Mendapat julukan 'Kecil-kecil Cabe Rawit', juga Musang dari Barat karena kecerdikannya.
Suatu masa, saat sang Raja sudah terlalu tua untuk memimpin negeri, ia memanggil keempat pangeran untuk merundingkan siapa yang akan menjadi pewaris tahtanya kelak. Keempat pangeran saling pandang waspada.
Pancaran persaingan terlihat jelas pada mata masing-masing. Mereka lahir nyaris bersamaan, mendapatkan kasih sayang dan keistimewaan yang sama sebagai putra mahkota.
Meskipun secara teknis Edward adalah anak sulung, tapi masing-masing tetap merasa dirinyalah yang paling berhak menerima gelar sebagai raja. Edward melangkah maju mendekati singgasana sang ayah.
“Sebuah kerajaan makmur, karena rajanya yang pandai bersilat lidah. Menenangkan masyarakat dengan kata-kata indah, serta kepandaian berpolitik. Aku rasa akulah yang cocok menjadi seorang raja!” ujar si sulung.
“Sebuah pidato tidak akan menyejahterakan rakyat,” sahut Edwig sambil terkekeh, “tapi sebuah strategi yang matang pasti akan mewujudkan kemakmuran di seluruh negeri!”