Bagi kebanyakan orang, mempunyai penggemar rahasia menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Bayangkan, di pagi hari ketika membuka loker, sekuntum mawar semerbak, dua batang cokelat, bahkan boneka beruang merah muda tiba-tiba bertengger di sana, tanpa diketahui siapa pengirimnya.
Perlakuan yang sangat manis sekaligus misterius, belum lagi kalau ternyata si misterius ini adalah seseorang yang menawan. Tentu saja semua orang berharap mempunyainya satu penggemar rahasia. Coba tebak ... aku punya satu.
Semenjak kuliah, dan tinggal sendirian di asrama, nampaknya seseorang diam-diam tertarik padaku, apakah aku mendambakannya? Tidak! Apakah aku senang dengan perhatian yang diberikan? Tidak sama sekali!
Alih-alih bunga, aku menemukan sederet gigi yang dicabut paksa—terlihat dari gusi yang masih menempel di akarnya. Alih-alih cokelat, aku menemukan gumpalan rambut berbagai warna di dalam tas, tapi yang paling parah adalah.
Suatu pagi, lokerku dikerumuni banyak orang berwajah hijau karena mual melihat mayat kaku seekor kucing tergantung di sana. Semua ‘hadiah’ itu selalu disertai sebuah memo singkat yang bertuliskan.
Dariku untukmu -‘TP’-
Aku sudah sering melapor pada dosen maupun pihak asrama, tapi jawaban mereka selalu sama.
“Itu hanya orang iseng! Aku yakin semua kejanggalan yang terjadi itu adalah perbuatan anak-anak lelaki berandal dari klub atletik!”
“Ada mayat kucing di dalam lokerku, sampai membuat semua orang muntah-muntah. Bukankah itu 'sangat' keterlaluan?” geramku menahan emosi.
“Jangan berlebihan, urusan kucing mati itu serahkan pada pembersih sekolah, dan semua akan kembali normal.”
“Aku tidak percaya ini ... bukankah kalian para guru sebaiknya memikirkan nasib murid kalian?” Aku berseru lebih keras. “Mungkin saja ada seseorang yang mengincarku!”
“Mungkin kalau kau berhenti menggoda laki-laki dengan pakaianmu semua ini tidak akan pernah terjadi!” Salah satu pengurus yayasan menudingku penuh tuduhan.
“Apa!” Aku menjerit saking kesalnya. “Aku korbannya di sini! Dan kalian melempar kesalahan kepadaku?”
Mereka tidak pernah menjawab lagi, bahkan menjulukiku 'Ratu Drama' dan haus perhatian. Kalau tahu perkuliahan akan sesulit ini, lebih baik tidak usah kuliah sama sekali, tetap tinggal bersama orangtua-ku di kampung halaman. Sempat berpikir untuk lapor polisi, tapi mengingat segala kehebohan yang mungkin terjadi, aku urung melakukan itu.
Akhirnya akupun memutuskan untuk mengabaikan segala kejadian aneh tersebut, bertingkah seolah tidak pernah ada apa pun di dalam loker, tidak pernah ada 'penggemar rahasia', dan melanjutkan hari-hariku sebagai seorang mahasiswa yang normal.
Toh apa pun yang diberikannya tidak pernah secara teknis melukaiku. Mungkin sedikit akibat gosip-gosip yang tersebar, aku masih bisa menanganinya.
***
Tiga bulan berlalu semenjak kejadian mayat kucing di dalam loker. Aku rasa semua sudah kembali normal, tidak pernah lagi ada benda-benada aneh di dalam loker atau di kolong mejaku. Aku senang akhirnya dia—siapa pun penggemar rahasiaku itu—sudah menyerah.
Malam ini aku pulang ke asrama dengan berkantong-kantong belanjaan. Penghujung tahun memang saat paling tepat untuk berbelanja karena banyak barang bagus yang mendapat potongan harga gila-gilaan.