Aku menenangkan Cindy yang masih saja murung. Matilda sudah seperti kakak kandung baginya, semenjak gadis itu meghilang secara misterius, Cindy-lah yang merasa paling kehilangan. Sarah duduk pada sofa tak jauh dari kami, menyuruh Cindy agar jangan cengeng. Dia bertingkah seolah cuek, padahal ekspresinya jelas terlihat gelisah karena kejadian ini.
Bagaimana tidak, kami sahabat dekat, seperti semanggi berdaun empat, ketika satu daun dicabut, keberuntungan akan berubah menjadi kemalangan. Hilangnya Matilda seolah menjadi tanda bahaya akan terjadi. Kami berkali-kali menanyakan nasib Matilda kepada Tuan Richard—penanggung jawab kami—tapi jawabannya selalu saja sama.
“Harap sabar, kasus ini sedang diselidiki.”
“Sial, setidaknya beri tahu kalau dia baik-baik saja!” umpat Sarah. “Aku rasa Tuan Richard menyembunyikan sesuatu dari kita!”
“Untuk apa menyembunyikan sesuatu? Dia penanggung jawab kita, kalau Tully menghilang, kan dia juga yang repot. Dia pasti sedang berusaha keras.”
“Kamu membelanya karena suka dia, kan?”
Aku terdiam sebentar. “Sudahlah, Sarah. Toh cepat atau lambat kita akan mendapat jawaban. Tak ada bangkai yang tak berbau.”
“Omong kosong! Aku lelah menunggu ketidakpastian, pihak asrama tidak transparan mengurusi kasus ini!”
Cindy menarik kaosku beberapa kali. “Apa maksudnya?”
“Kalau tidak bisa bersabar, kenapa tidak kamu saja yang selidiki!” Kesal, aku menaikan intonasi.
Bukannya diam, sebuah seringai justru keluar dari wajah lancip Sarah.
“Tepat sekali ... memang itulah yang akan kukatakan pada kalian. Apa kamu seorang peramal?”
“Jangan main-main, Sarah!”
“Main-main apanya? Ini jelas sangat masuk akal!” gadis itu mendekat untuk berbisik. “Daripada menunggu aroma bangkai tercium, kita cari bangkai itu untuk menciumnya!”
Aku memicingkan mata—kalimat macam apa itu?—Cindy langsung mencengkram kaosku. Sekhawatir apa pun gadis itu kepada Matilda, pergi ke kamar penyebab hilangnya Matilda tentu lebih menakutkan.
“Kenapa kamu gemetaran begitu?” hardik Sarah, “kalau Tully sudah ketemu, kamu tidak perlu lagi menjadi anak cengeng, kan?”
Cindy mulai menangis lagi.
“Sudahlah!” aku melerai.
“Bagaimana, kamu ikut?" Sarah menatapku.
Aku melirik Cindy. “Kamu bisa tinggal di kamar kalau mau,” lanjutku melihat wajah pucat gadis itu.
“A—aku juga mau tahu keadaan, Tully!” Cindy bergumam. “Aku ... juga mau ikut!”
“Kamu serius? Tidak ikut juga tidak masalah ....”
Cindy mengangguk patah-patah, wajahnya terlihat jelas mengatakan ‘tidak’.
“Kalau begitu malam ini kita pergi. Bawalah minimal satu alat untuk memukul,” sela Sarah. “Jaga-jaga kalau kita bertemu seseorang.”
“Bagaimana kalau kita bertemu hantu?” cicit Cindy.
“Konyol! Mana ada hantu!” sangkal Sarah segera. “Kalau malah menjadi beban lebih baik kamu tidak usah ikut!”
Cindy tertunduk, menutup mulut rapat-rapat. Aku diam saja, sebenarnya ingin menyuruh Cindy menetap di kamarnya, tapi seperti aku dan Sarah, bocah itu pasti juga ingin tahu keadaan Matilda. Toh, hanya memeriksa sebuah kamar. Hanya akan ada tiga kemungkinan—
Matilda masih dalam keadaan hidup, kami akan menyelamatkannya. Matilda sudah meninggal, setidaknya rasa penasaran kami lenyap, dan bisa menuntut asrama agar memakamkannya dengan layak. Kemungkinan terakhir yang paling buruk, Matilda tidak ada di sana sama sekali, membiarkan kami bertiga terus bergelut dalam kegelisahan.
***
Kami menyatukan telapak tangan, meletakkan sebuah semanggi berdaun empat di tengahnya, lalu memejamkan mata.
“Ini adalah sebuah janji suci ....”
“Untuk selalu bersama, disaat susah maupun senang ....”