Impy Island

Impy Island
Chapter #30

Our Last Night

Warna merah api menjilat-jilat, menimbulkan asap hitam yang mencemari cakrawala. Suara kayu kering yang perlahan berubah menjadi arang pun meredam orkestra kawanan jangkrik. Malam semakin larut, keheningan mendominasi.

Satu per satu pengawas bumi perkemahan mulai memasuki pondok untuk beristirahat, membiarkan lima orang gadis duduk di dekat danau untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka adalah lima mahasiswa yang baru saja selesai mengerjakan skripsi.

Sidang mereka berlangsung dua hari lalu, sementara wisuda berlangsung seminggu lagi, jadi secara teknis ini adalah malam terakhir mereka berkumpul sebagai mahasiswa. Tidak ada satu pun yang bicara.

Kelimanya tengah sibuk menusuk marshmellow dengan ranting dan membakarnya di api unggun. Beberapa menikmatinya, beberapa justru meringis karena marshmellow yang dibakarnya terlalu hitam.

“Aku takut ...,” ucap Chloe memecah keheningan, membuat keempat temannya serempak menatap gadis itu. “Aku takut wisuda, melanjutkan hidup ... kedengarannya menyeramkan.”

“Aku juga,” sahut Emely. “Menurut kalian akan seperti apa hidup setelah ini?”

Lagi-Lagi mereka bertukar pandang.

“Pekerjaan baru ... rumah baru ... suasana baru.” Dinah si rambut ikal menerawang.

“Pacar baru!” Tina menimpali.

Teman-temannya serempak melempar kerikil kecil ke arah gadis playgirl itu.

“Kau sudah punya George!” seru Keylie.

“George sudah kuno dan membosankan!” balas Tina tanpa dosa.

Semuanya tertawa, tapi hanya Chloe yang tidak mau repot-repot mengeluarkan ekspresi.

"Tenang saja, Chloe. Hidup tidak akan seburuk itu. Selagi kau mempunyai mimpi, dan berusaha keras mengejarnya semua akan baik-baik saja,” ujar Dinah sambil mengelus punggung Chloe.

“Benar, Chloe. Kau anak pintar, bahkan yang paling pintar, dan berbakat di antara kita semua. Kau akan baik-baik saja.” Emely ikut merangkul gadis itu.

“Bukan itu masalahku ...,” lirih Chloe. “Aku sudah sangat siap mengejar cita-citaku. Aku siap menjadi orang yang sukses di luar sana ....”

Chloe mengambil napas dalam, dan untuk kesekian kalinya berhasil membuat keheningan sejenak. “Aku hanya ... tidak tahu bagaimana jadinya menjalani hari-hari tanpa kalian.”

Mereka semua terdiam dengan kalimat itu.

Lihat selengkapnya