Seorang gadis berkulit secerah musim semi, rambutnya pirang sedikit kecokelatan akibat terlalu sering terpapar terik sang surya, selalu terkepang dengan banyak anak rambut yang mencuat. Manik matanya keabu-abuan, disertai alis tipis yang melengkung jenaka.
Ketika gadis itu tersenyum, pipinya ikut terangkat, menimbulkan dua bukit kecil yang bersemu. Dia menyukai ikan, terutama yang kecil-kecil. Selain sekolah, waktunya sering terbuang hanya untuk bermain di kolam taman bersama dengan ikan-ikan emas kecil peliharaannya.
Gadis ini bernama Melody, atau para pengunjung taman sering memanggilnya Putri Duyung, mungkin melihat betapa seringnya gadis itu duduk-duduk di pinggir kolam sambil memercikkan air. Melody punya teman. Bisa dibilang lumayan banyak, kalau ingin tahu persisnya, hitung saja ikan-ikan kecil di dalam kolam, semua adalah temannya.
“Kalian sungguh teman-teman yang setia. Kalian pendengar yang baik. Tapi terkadang aku lelah terus bercerita, bagaimana kalau sekarang giliran kalian yang bercerita?”
Ikan-ikan di kolam terus saja berenang-renang, beberapa mendekat ke arah Melody, hanya agar gadis itu melempar secuil roti yang bisa mereka telan. Melody menghela napas pelan. Bodoh sekali, memangnya ini dunia fantasi? pikir gadis itu sambil melempar serpihan roti lebih banyak.
Bisakah aku mendapatkan seorang sahabat?
***
Seorang gadis yang memiliki tubuh tinggi menjulang bak Jerapah, kuku-kukunya terawat dengan baik, berhiaskan warna-warni cerah sesuai sifatnya. Rambutnya berwarna cokelat gelap selalu rapi meskipun angin bertiup kencang. Wajah mungilnya dihiasi mata bulat simetris dengan manik biru cerah.
Dia menyukai lagu-lagu terkini di radio, apa pun yang sedang ngetop pasti langsung dimilikinya. Terkadang dialah pencetus sebuah tren. Tidak perlu khawatir masalah uang, anak tunggal sama dengan anak emas. Tunjuk saja sesuatu, sekali berkedip pasti terkabul.
Gadis itu bernama Jessica, atau orang-orang mengenalnya sebagai si gadis sampul majalah. Tidak perlu bertanya kenapa, kau ingin populer? Kenakan apa yang Jessica pakai, kau ingin banyak teman? Tirulah apa pun kebiasaan Jessica.
Jessica punya banyak teman, meskipun baginya tidak semua bisa disebut teman. Teman macam apa yang selalu memujanya bak dewa dari khayangan? Teman macam apa yang selalu memuji setiap tindakan meskipun itu adalah kesalahan?
“Bisa tidak, kalian menyebutkan satu saja sifat burukku?” tanya Jessica ketika sedang berkumpul.
“Tentu saja tidak, kau adalah gadis paling cantik, paling sempurna yang pernah kami kenal.”
“Tidak ... tidak ... sebutkan satu saja. Aku akan memberikan uang pada siapa saja yang bisa menyebutkan satu kekuranganku.”
Tujuh orang yang mengelilinginya langsung ribut. Bertanya-tanya apakah ini jebakan? Apakah ini semacam ujian? Apakah ini seperti tes pengangkatan sahabat sejati sang bintang sekolah?
“Kau egois karena mengambil seluruh kecantikan di dunia!” kata seseorang.
“Kau tega menolak anak-anak laki-laki ganteng yang menyukaimu,” sahut yang lain.
“Kau curang karena selalu menjadi gadis sampul majalah sekolah!”
Sambil berdecih Jessica menjawab. “Tidak ada yang mendapatkan uang!”
Semua menghela napas kecewa, tanpa mengetahui, terlalu sering dipuji-puji tidak akan membuat hidung Jessica mengembang. Sebaliknya, gadis itu jengkel. Ketahuan betul mereka hanya mencari muka, bukannya benar-benar tulus ingin berteman.
Bisakah aku mendapatkan seorang sahabat?
***
Melody selalu nyaman dengan kegiatannya bersama ikan-ikan di kolam. Namun, terkadang gadis itu bosan juga berbicara sendirian, tanpa ada yang menanggapi. Pasti senang rasanya kalau punya teman betulan.
Teman yang bisa menjawab ketika diajak bicara, dan memberikannya banyak cerita mengasyikan pula. Sebenarnya banyak anak-anak perempuan maupun laki-laki di sekolah yang bisa dijadikan teman.
Namun, Melody tidak pernah tahu bagaimana cara memulai percakapan dengan mereka. Manusia ternyata tidak sama dengan ikan-ikan. Pernah sekali waktu Melody mendekati segerombol anak laki-laki. Membawa beberapa helai roti seperti ketika ia mendekati ikan-ikan.
“Hai, kalian mau roti?” sapa gadis itu dengan semangatnya.
Kalau para ikan langsung mendekat, anak-anak laki-laki itu justru mundur beberapa langkah. “Apa-apaan dia? Datang-datang menawarkan roti!” kata salah satu dari mereka dengan wajah meringis.
“Jangan-jangan roti beracun!” sahut yang lain.
“Dibayar satu juta pun aku tidak mau roti darimu, anak aneh!”
“Sudahlah, pergi sana, kami tidak mau bicara dengan orang aneh sepertimu.”
Dengan hati kecewa, Melody menyingkir. Anak-anak laki-laki ternyata bisa sangat judes. Di kesempatan lain, ia coba mendekati anak-anak perempuan tanpa membawa roti, takut kejadian di tempat anak laki-laki terulang lagi. Kali ini Melody hanya membawa senyuman paling lebar yang ia bisa.
“Hai.”
Tidak ada yang menjawab sapaannya, malahan tatapan mereka seperti baru saja melihat kucing memakan kol—Keheranan.
“Hai, namaku Melody. Kalian suka bermain di taman?”
“Tidak,” jawab salah satu dari mereka. “Kami suka bermain di cafetaria.”
Sambil mengibas rambut yang mengeluarkan aroma vanila, anak perempuan itu menyapukan bedak ke wajah. Begitu saja ia tak mengacuhkan Melody lagi. Baru saja Melody hendak melangkah pergi, sebuah suara lebih dulu menahannya.
“Apa yang biasa kau lakukan di taman?” tanya seorang gadis bermata biru dengan rambut cokelat gelap bergelombang sepanjang leher.
“Melihat ikan-ikan, memberi mereka makan, dan menceritakan banyak hal pada mereka.”
Gerombolan anak perempuan pun tertawa, tapi percayalah itu bukan tawa yang menandakan kalau mereka bahagia, itu tawa kesinisan.
“Aneh!”
“Seram!”
“Bodoh!”