Apa sesuatu yang paling berkesan dalam hidup? Sesuatu yang paling menyimpan banyak memori serta kenangan, yang bisa membuat tersenyum, menangis, marah, bahkan malu jika mengingatnya.
Entah itu sajak, lagu, foto dan video, atau bahkan benda mati. Benda sekecil apa pun bisa saja mempunyai kisah. Misalnya kerikil itu, mungkin saja kerikil itu tadinya sebuah batu besar yang dipalu oleh para tahanan kerja paksa puluhan tahun lalu. Atau bungkus makanan itu, mungkin tadinya milik sepasang kekasih yang saling menyuapi dengan mesra.
Rongsokan bisa menjadi harta, pun harta bisa jadi tidak berguna. Semua tergantung dari sudut pandang siapa yang melihat. Beberapa hari terakhir, anjingku selalu menggali satu titik tanah di halaman belakang.
Awalnya aku memarahi hewan itu, lama-lama jadi curiga, ia bukan hewan yang susah diatur, biasanya sekali perintah langsung menurut. Sesuatu di dalam tanah itu membuatnya penasaran setengah mati.
Akhirnya aku meminta tolong suamiku untuk menggali tanah itu lebih dalam. Cukup dalam dia menggali, tapi tidak ada satu benda menarik pun kami temukan. Beberapa meter lagi menggali barulah unjung sekop membentur sesuatu yang keras.
Begitu diangkat, ternyata kami menemukan peti kuno usang yang tertutup tanah merah menggumpal. Setelah dibersihkan, suamiku memukul gembok besi yang berkarat dengan palu, lantas peti itu terbuka tanpa harus bersusah payah.
Suamiku tidak terlalu penasaran dengan benda itu, dia segera kembali bekerja setelah tuntas membantuku. Namun, aku sebaliknya, hatiku berdebar menatap peti kuno itu. Mungkinkah ini harta karun?
Begitu sampai di kamar, aku membuka peti kuno itu dengan wajah berbinar, lantas kecewa karena isinya bukan uang ataupun emas. Hanya setumpuk rongsokan. Di antaranya ada mainan kayu, wadah tembaga, berbagai medali, bahkan sepatu belel.
Aku mengangkat seikat surat yang sudah menguning, lantas bertanya-tanya. Siapa, dan untuk apa orang menyimpan rongsokan di dalam peti? Itu pikiranku awalnya. Sampai mataku menyadari sebuah tulisan.
Untuk Sam. Di mana pun kau berada aku harap kau sehat. Aku, Brendan dan Irene sangat merindukanmu, cepatlah pulang.
Itu hanya secarik kertas kecil yang terletak di paling atas surat. Buru-buru aku membaca setiap kertas usang itu, yang ternyata adalah surat cinta seorang wanita untuk suaminya yang tengah pergi berperang.
Senyumku terbit membaca setiap sajak serta kalimat puitis dari sang suami, tidak perlu mengenalnya untuk tahu kalau dia adalah pria yang sempurna. Pria yang juga mencintai wanitanya. Balasan si pria berhenti dengan satu surat.
“Aku akan pergi ke titik utama penyerangan minggu depan. Kali ini aku bukan hanya menjaga di belakang, tapi ikut serta dalam rombongan. Sayang, sebentar lagi buah hati kita bertemu dengan dunia, mungkin aku tidak akan di sana untuk menemanimu.