Malam itu... terasa jauh lebih mencekam dari malam-malam sebelumnya.
Bukan karena badai di luar, bukan pula karena gelap yang menelan rumah, tapi karena suara Ayah yang kembali membelah keheningan—suara yang selalu datang bersama amarah, umpatan, dan penyesalan.
"Aku menyesal menikah denganmu!"
"Aku menyesal memiliki anak bersamamu!"
Suara itu memekakkan telinga. Menghujam hati seperti sembilu.
Dari balik pintu kamar, aku mendengar semuanya—setiap kalimat yang tak seharusnya diucapkan seorang ayah.
Aku mendengar isak Bunda, pelan, patah, tercekik di tengah usaha menahan luka. Tangisannya tak lagi keras... mungkin karena sudah terlalu sering menangis, terlalu sering hancur, sampai air matanya pun menjadi sunyi.
Aku hanya bisa meringkuk di sudut kamar, memeluk lututku sendiri, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang bisa kutinggalkan saat fajar. Tapi nyatanya, pagi tak pernah membawa harapan di rumah ini. Hanya sisa-sisa luka semalam yang belum sempat sembuh.
Aku tak tahu apa salahku.
Aku tak mengerti mengapa setiap kepulangan Ayah selalu membawa badai.
Tak ada pelukan. Tak ada senyum. Yang ada hanya teriakan, kemarahan, dan tatapan penuh kebencian yang entah ditujukan padaku, pada Bunda, atau mungkin pada dirinya sendiri.
"Aku tak pernah menginginkan anak itu!"
Kalimat itu terngiang lagi di kepalaku.
Padahal aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan.
Aku tidak pernah memohon untuk hadir di dunia ini—apalagi di tengah keluarga yang tak mengenal arti cinta.
Aku sedih...
Bukan hanya karena Ayah membenciku, tapi karena Bunda harus terus-menerus menjadi tameng yang menahan amarah itu sendirian.
Tangisannya adalah suara yang paling sering kudengar sejak kecil.
Kadang lirih di kamar mandi, kadang teredam di balik selimut, tapi malam ini... tangisannya terdengar pecah, seperti hatinya yang sudah tak sanggup lagi.
Aku bertanya dalam hati—
Apakah benar kami adalah penghalang dari cinta Ayah yang tak tersampaikan?
Apakah cinta lamanya masih menghantui, lalu menjadikan kami sebagai musuh dari kebahagiaan yang ia impikan?
Dan jika benar…
Mengapa harus kami yang menanggung semua luka itu?
Di usia sekecil ini, aku sudah tahu… rumah ini bukan tempat pulang.