in another life

Suci Dwi Fauci Aulia
Chapter #2

Part 1

"Setiap luka menyimpan cerita. Dan setiap cerita, tak selalu berakhir bahagia."

***

Pagi itu datang dengan sunyi yang menggantung, seolah enggan menghapus jejak malam yang mencekam. Matahari perlahan merayap masuk dari sela tirai ruang tamu, menerangi rumah yang semalam dipenuhi suara tangis dan amarah. Setelah malam yang penuh luka, pagi ini terasa begitu kontras—tenang… bahkan terlalu tenang.

Aku menuruni tangga dengan langkah pelan, membawa sisa-sisa gelisah dari malam sebelumnya. Di dapur, aroma nasi goreng dan telur dadar menyambutku lebih dulu, lalu senyuman itu—senyuman yang begitu kukenal, milik perempuan yang selalu berusaha menyembunyikan letih di balik bibirnya yang mengembang.

Bunda sedang menyiapkan sarapan. Rambutnya diikat seadanya, apron lusuh menempel di tubuh mungilnya. Saat melihatku, matanya berbinar dan kedua tangannya langsung terbuka lebar.

“Pagi anaknya Bunda yang paling cantik,” ucapnya lembut sambil tersenyum.

Aku berjalan ke arahnya dan masuk ke dalam pelukannya. Pelukan hangat yang terasa lebih dalam dari biasanya.

Ia mencium puncak kepalaku dengan lembut.

Entah kenapa, pelukan itu terasa lebih lama… lebih erat… seperti ada sesuatu yang tak terucap di balik dekapannya. Seperti pelukan terakhir, walau aku tak ingin percaya itu.

“Pagi juga, Bun,” jawabku dengan suara pelan, mencoba membalas kehangatan itu dengan senyum yang tak sepenuhnya tulus.

“Yuk, duduk sayang. Bunda udah siapin sarapan sama bekal kamu,” katanya sambil melepas pelukan dan menggiringku ke meja makan yang hanya memiliki tiga kursi—satu kursi yang belakangan ini selalu kosong, tak pernah lagi terisi.

Aku duduk, memperhatikan gerak-geriknya. Bunda selalu sigap, selalu hangat, seolah semalam tak terjadi apa-apa. Padahal aku tahu, matanya masih sedikit sembap. Tapi Bunda… dia pandai sekali menyembunyikan perasaannya di balik rutinitas.

“Hari ini Bunda kayaknya lembur, ya, di kantor. Kamu nggak apa-apa sendiri di rumah?” tanyanya sambil menuangkan teh hangat ke gelasku.

“Iya, Bunda. Gak apa-apa kok,” jawabku, tersenyum kecil berusaha menenangkan.

Bunda adalah sosok perempuan kuat. Sejak aku kecil, aku selalu melihatnya berdiri di garis depan kehidupan, berjuang sendiri. Aku tahu… andai pun ia benar-benar bercerai dengan Ayah, ia akan baik-baik saja secara keuangan, secara hidup. Tapi yang terus ia pikirkan adalah aku—seolah aku akan hancur tanpanya lengkap sebagai sebuah keluarga. Padahal, aku tak apa. Aku hanya ingin Bunda tak terluka lagi.

“Nanti pulang sekolah aku mau ke Gramedia dulu ya, Bun,” ucapku meminta izin.

“Oh, hari ini kamu mau beli novel apa?” tanyanya sambil tersenyum penasaran, karena ia tahu betul hobiku membaca.

“Hmm, belum tahu sih. Mau lihat-lihat dulu,” jawabku sambil tertawa kecil.

“Mau beli berapa bukunya? Uangnya masih cukup?” lanjutnya.

“Masih, Bun,” jawabku santai.

“Ayah udah kasih uang belum sama kamu?” tanyanya kemudian, suaranya datar tapi penuh makna.

Lihat selengkapnya