Kini Clara tengah bersiap-siap. Jam menunjukkan pukul 06.30. Waktunya untuk berangkat sekolah. Sesungguhnya ia gugup, sangat gugup. Tapi demi mendapatkan teman. Ia harus mengalahkan rasa gugupnya.
Sekarang Clara masih diantar oleh mamanya, tapi mungkin nanti dia harus berangkat sendiri. Mengingat mamanya adalah orang yang sangat sibuk. Sesibuk itu hingga membuat anak semata wayangnya merasa kesepian.
"Berangkat dulu mbak, mas." ia menyalami mbak Ningsih dan mas Jojo sebelum masuk ke mobil.
Terlihat dari kaca spion, mbak Ningsih dan mas Jojo melambai-lambaikan tangannya sambil menyeka air mata mereka. Mereka beradegan seperti orang tua yang sedang ditinggal anaknya untuk melanjutkan cita-citanya. Dan itu membuat Clara dan mamanya menggeleng geli, tak habis pikir kenapa dua orang itu sangatlah berlebihan.
Jalanan terlihat asing oleh Clara. Begitupun dengan orang-orang yang dilewati. Baru kali ini ia melihat langsung. Ternyata rasanya jauh berbeda dengan yang sering dilihatnya di televisi. Dari sejak keluar area rumahnya sampai sekolah. Clara tak berpaling dari jendela mobil. Ia terus menatap jalanan Memikirkan bahwa dia akan melewati jalan ini setiap hari. Mungkin ia harus mulai mengingatnya, karena suatu hari bisa saja ia ke sekolah sendiri. Siapa tahu.
Kini mobil mereka sudah memasuki area sekolah. SMA PEREMPUAN KARTINI. Terpampang jelas di bagian depan sekolah. Ia baru tahu bahwa ia disekolahkan disini. Karena mamanya yang memilihkan dimana ia harus bersekolah. Clara tak ambil pusing dimana ia harus bersekolah. Pikirnya yang namanya sekolah pasti sama semua.
Terlihat di depan pintu bertuliskan 'Ruang Tata Usaha'. Ia mengikuti mamanya masuk. Tapi tiba-tiba badannya mematung, kakinya tidak mau digerakkan. Mulutnya hampir terbuka lebar sampai-sampai kalau ada lalat masuk bisa untuk dijadikan tempat tinggal. Banyak sekali deretan piala yang dipajang di dalam lemari kaca. Entah ada berapa piala yang dipajang disana. Dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Sangat menakjubkan.
Tringgg...
Bel sekolah berbunyi, Membuat Clara sadar dari kekagumannya. Ia langsung mendekati lemari kaca itu dan memperhatikan satu-persatu pialanya.
Mungkin jika ada orang lain yang tengah melihatnya seperti itu, dia akan berpikir bahwa Clara norak. Tapi siapapun bisa norak, untuk orang yang punya gengsi sekalipun.
"Clara, sini." panggil mamanya.
Ia mengangguk dan berjalan ke arah mamanya.
"Mama udah selesai ngurus berkas pendaftarannya, kamu tunggu disini dulu ya. Nanti ibu Dewi ini yang nganterin kamu ke kelas. Soalnya mama buru-buru ini, gak bisa lama-lama." tunjuknya kepada ibu guru di sebelahnya yang mempunyai postur badan mirip dengan mamanya. Tidak terlalu gemuk ataupun kurus.
"Iya."
"Yaudah, mama pergi ya. Nanti telpon mama kalo udah pulang." Clara mengangguk dan mencium tangan mamanya sebelum pergi bekerja.
"Clara? Ayo ibu antar ke kelas." Clara mengangguk dan mengikuti ibu Dewi di belakangnya.
Sekarang perasaan Clara sangat gugup. Ia harus berbuat apa kalau sudah masuk kelas nanti. Tiba-tiba saja perkataan yang sudah ia suapkan selama ini lupa begitu saja.
"Aduhh." ia menepuk-nepuk kepalanya mencoba untuk mengingat kata-kata yang akan diucapkan. Ditambah lagi dengan jantungnya yang semakin berdetak kencang membuat pikirannya semakin campur aduk, tidak bisa berpikir dengan jernih.
Masih ada beberapa meter sebelum sampai kelas. Ayolah, dia sudah stres memikirkan hari pertama masuk sekolah, jangan sampai itu sia-sia hanya karena gugup. Atau jangan-jangan perkataan yang ada di kepalanya tadi tertinggal di lemari kaca bersamaan dengan deretan piala itu? Berpikirlah realistis.
"Selamat pagi anak-anak." ujar bu Dewi sambil berjalan masuk. Diikuti Clara di belakangnya.
"Pagi buk." seisi kelas kompak menjawab.
Clara tidak berani menampakkan wajahnya. Dari sejak masuk kelas, ia hanya menunduk. Masih menata kalimat yang cocok untuk dikeluarkan. Atau memikirkan jika memang benar kalau perkataannya tertinggal di lemari kaca. Benarkah?
"Clara." suara ibu Dewi menyadarkannya dari lamunan. Ia langsung menegakkan wajahnya. Memandang anak-anak di kelas ini yang juga memandang dirinya. Aduh, ia tidak pernah diperhatikan orang banyak.
"Ayo perkenalkan nama kamu dulu." suruh bu Dewi.
"Em,,sa,,saya. Na,,nama saya Clara Radifa."
Hanya itu kalimat yang bisa ia keluarkan, setelahnya ia berdiam cukup lama. Sedang memilih kata-kata selanjutnya. Bagaimana ini, lidahnya benar-benar keluh tidak bisa untuk mengatakan apa-apa lagi.
"Lo gagap ya." celetuk salah satu siswi. Dia adalah Cindy, seorang ketua kelas,
"Hahaha." sontak semua yang ada di kelas tertawa.
Mendapat respon yang tidak mengenakkan. Clara menundukkan kepalanya malu.
"Cindy! Kamu gak boleh gitu!" tegur bu Dewi. "Kamu itu ketua kelas, harus memberi contoh yang baik."
Cindy cengengesan sambil memperlihatkan seluruh giginya.
Melihat reaksi Clara yang menundukkan kepala, bu Dewi seakan mengerti.
"Perhatikan anak-anak semua! Mulai sekarang Clara akan menjadi bagian dari kelas ini dan akan menjadi teman kalian. Jadi ibu harap kalian bisa membantu Clara kedepannya. terutama kamu Cindy!" bu Dewi melotot kepada Cindy. "Kamu jangan gangguin Clara seperti tadi. Gak baik."
Cindy bingung dan mengangkat kedua tangannya tidak paham. "Aku udah diem ini bu."
"Bagus. Seterusnya kamu harus tetap begitu."
"Clara, kamu langsung duduk saja ya. Kamu duduk di samping Fani, disitu." tunjuk bu Dewi ke salah satu siswi yang duduk sendirian.
Segera Clara mengangguk dan berjalan ke kursi yang kosong.
"Kalian baik-baik ya sama Clara. Terutama kamu ya Cindy!" ujar bu Dewi dengan senyum.
"Ya ampun ibuu, aku daritadi udah diem loh. Kenapa cuma aku sih yang disalahin, yang ngetawain juga semuanya. Lagian kan tadi cuma bercanda." belanya kepada diri sendiri.
"Yah pokoknya kalian semua harus rukun. Mengerti?"
"Mengerti buk."
Selepas berbicara, bu Dewi langsung keluar kelas. Juga dengan Clara yang sudah berada di tempat duduknya.
Keadaan seperti sekarang ini yang tidak bisa Clara hadapi. Perasaannya campur aduk antara bingung, kaget, tidak terbiasa dengan suasana ini. Hanya diam yang bisa ia lakukan sekarang.
***
Keadaan yang baru, yang asing, yang tidak pernah dirasakan, dibayangkan. Suasana duduk di kelas di antara murid-murid yang akan menjadi temannya itu. Benarkah mereka akan menjadi temannya? Perasaan bimbang, takut muncul tiba-tiba. Tak pernah ada di pikirannya kalau ada kemungkinan mereka tidak mau berteman dengannya. Hal itu kenapa baru terpikirkan sekarang. Apa yang harus dilakukannya nanti kalau benar tidak ada yang mau berteman dengannya. Apa nanti dia hanya akan terus sendirian di sekolah sampai lulus? Bagaimana kalau mereka malah tidak suka kepadanya. Apa yang harus dilakukan. Masalah pertemanan terus berputar-putar di kepalanya. Kalau benar nantinya mereka tidak suka padanya. Apa berarti dia tidak akan punya teman main, teman mengerjakan tugas. Bahkan yang lebih buruk tidak ada yang akan main kerumahnya seperti tetangganya itu.