Jakarta, akhir 2015
Akhirnya hari itu datang hari di mana Raini dan Rey bertemu lagi. Jakarta siang itu padat seperti biasa, tapi hati Raini tak pernah selega ini. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil di daerah Pejaten, tempat yang dipilih Rey karena dekat dengan kampusnya.
Lalu pintu terbuka.
Rey masuk, mengenakan jaket jeans berwarna biru, jaket anak-anak Vespa pada umumnya, postur tubuhnya yang tinggi, rambut, kaca mata dan senyum yang sama seperti yang Raini ingat sejak mereka duduk sebangku SMP. Badannya sedikit lebih tinggi dari terakhir kali kita bertemu beberapa tahun silam, tapi matanya masih menyimpan sesuatu yang tak bisa Raini pahami hangat, tapi jauh.
"Masih suka telat, ya," kata Raini sambil menarik kursi.
Rey tertawa. "Biar tetap autentik. Rey yang dulu dan sekarang nggak jauh beda."
"Syukurlah. Jadi aku nggak kaget," jawab Raini sambil menyeruput kopi.
"Eh, tapi kamu kelihatan lebih… tua."
"Dan kamu lebih nyinyir," balas Rey cepat.
Mereka tertawa. Lama. Seperti dulu, saat mereka sering kumpul bersama.
Hari itu kami menghabiskan waktu bersama keliling Ibu Kota.
Kami mulai dengan Naik KRL di Pasar Minggu untuk menuju ke kostan Riri di daerah Sudirman
“Aku baru kali ini mencoba naik KRL selama di Jakarta,” seru Rey