Hari itu, langit Jakarta tampak cerah, seolah ikut menyambut perjalanan Raini dan tim Legal kantornya menuju Bali. Awal April memang waktu yang pas—cuaca bersahabat, semangat tim pun terasa menggebu. Sejak subuh, Raini sudah bersiap. Ia memilih duduk di dekat jendela mobil, membiarkan pemandangan jalan tol yang melaju cepat mengisi pikirannya yang kosong.
Nagita, sahabat sekaligus rekan kerjanya, melirik Raini dari kursi depan. “Lo kenapa, Ni? Dari tadi mandangin jendela doang, ngelamun. Inget Fatur, ya?” godanya, setengah bercanda.
Raini hanya tersenyum tipis, menunduk. “Enggak tahu, Ta. Kayaknya gue lagi bingung aja.”
“Lah, apa yang lo bingungin? Bos kita? Hahaha, enggak mungkin, kan?”
Raini menggeleng pelan. “Perasaan gue aja, kali. Tapi udahlah, ayo kita have fun di Bali. Nanti juga lupa.”
Nagita mengangkat bahu. Ia tahu, setelah Fatur, Raini memang berubah. Beberapa kali Raini mencoba membuka hati lewat aplikasi kencan, bertemu di kafe-kafe lucu, tapi tak pernah ada yang benar-benar membuatnya bersemangat. Luka lama masih membekas, dan Raini memilih diam daripada membicarakannya.
Di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, Raini duduk di antara kerumunan penumpang. Ia menatap layar ponselnya yang tiba-tiba menyala—sebuah pesan masuk dari Rey. Nagita, yang duduk di sampingnya, tak sengaja melirik.
“Rey siapa, Ni?” tanya Nagita penasaran.
“Temen aku dari SMP,” jawab Raini singkat.
Hanny, teman sekantor lain, ikut nimbrung. “Temen si Indra juga?”
“Enggak, Ny. Beda Rey. Temen SMP.”
Nagita dan Hanny saling pandang, menunggu kelanjutan cerita. Raini tersenyum, “Boleh nggak gue bales chat-nya dulu, baru gue cerita?”
Ia mengetik balasan untuk Rey, yang menanyakan soal rencana ke nikahan Sandi di Yogyakarta. “Aku sih oke aja, Rey. Mau pesen keretanya sekarang? Kalau iya, kirim KTP, ya.”
Rey membalas cepat, mengirimkan foto KTP. “Kita naik kereta dari Bandung aja, ya?” tanya Raini lagi. Rey setuju.
Tak lama, dua tiket kereta Bandung–Yogyakarta sudah ada di ponsel Raini. Ia memandangi tiket itu lama, sebelum akhirnya mengirimkannya ke Rey. Ada perasaan ragu, senang, sekaligus takut. Dalam hati, Raini bertanya-tanya: Apakah perasaanku akan baik-baik saja? Kalau Rey tahu aku suka dia, apa dia mau tetap pergi sama aku?
Pesawat yang akan membawa mereka ke Bali sudah mulai dipanggil, tapi di ruang tunggu, obrolan antara Raini, Nagita, dan Hanny masih terus mengalir.
“Jadi gimana, Ni? Siapa sih Rey itu?” tanya Hanny, matanya penuh rasa ingin tahu.
Raini menarik napas dalam, lalu mulai bercerita, “Jadi, Rey itu temen SMP aku. Beberapa bulan terakhir ini kita ketemu lagi karena ada temen aku yang nikah.”