Hal pertama yang samar-samar tertangkap oleh netraku adalah lampu remang-remang yang menggantung tepat di atas kepalaku. Ruangan pengap, banyak debu, dan ketika kutegakkan tubuh kegelapan seperti tak ada ujung di hadapan sana. Tanganku terikat ke belakang, pun kakiku. Raga lemahku ada di atas sebuah kursi kayu, juga terikat dengan benda itu. Mulutku terhalang kain yang membuatku kesusahan untuk berteriak.
Ingin lepas, tak berhasil. Tenaga yang kukeluarkan sia-sia, meronta seperti orang gila. Tangan dinginku bergetar. Mataku mulai mengeluarkan air mata. Dadaku naik turun, memasok udara lebih banyak lagi. Segelintir, ah tidak, banyak ketakutan menghampiri. Ditambah pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang menyerang otakku.
Siapa yang menyanderaku di sini? Siapa yang mengikatku dan menghilangkan kebebasan ini? Siapa yang tega seperti ini padaku? Apakah seseorang ingin menambah luka untukku?
Sebelum berada di tempat agak gelap ini, aku ingat seseorang memukulku keras kala Kak Fabian meneleponku. Ditambah apa yang terjadi hari ini, apa semuanya saling terhubung? Apakah ada seseorang yang sangat membenciku?
Kuedarkan pandangan sejauh kubisa. Lantai sangat kotor, ada kecoak-kecoak yang bergerak sana-sini. Mataku seketika melebar, kini ada tikus-tikus mendekat, seperti baru saja dilepaskan dari sarangnya. Tanganku terus bergerak, berusaha melepaskan ikatan, akhirnya tetap tidak bisa. Aku meronta lagi, pandangan sudah kabur dengan air mata. Ketika berteriak, semua tertahan di kain yang menutupi mulutku ini.
Geli, satu tikus berjalan di antara kakiku. Perutku mendadak mual karena itu. Tolong, siapa pun selamatkan aku! Aku tidak ingin berada di tempat menyeramkan ini. Bawa aku keluar dari sini!
"Hei, jangan nangis, bego!"
Suara itu berasal dari belakangku, lembut namun penuh ancaman. Itu suara seorang laki-laki.
"Lo tau gak sekarang jam berapa?" Terdengar tarikan napas kasar. "Sekarang udah lewat tengah malam. Berapa jam lagi kira-kira matahari bakalan terbit? Sayangnya, lo gak bakalan lihat itu lagi pagi ini."
Jika mendengar lebih jelas lagi, suara itu tidak asing bagiku. Aku mulai menduga hal yang aneh.
"Padahal gue udah kasih peringatan buat lo. Mati! Mati! Dan hadiah itu, bangkai anak tikus. Gimana? Lo suka hadiah dari gue cewek monster? Hahaha."
Jadi, orang jahat yang sedang bersamaku saat ini adalah orang yang sama dengan yang menerorku? Kegelisahanku semakin bertambah.
"Lo bakalan jadi kayak anak tikus itu. Mati! Mati!" bisiknya tepat di telingaku.
Bulu kudukku meremang. Rasa takutku berpuncak. Orang yang ada di belakangku ini, ingin aku mati. Bagaimana ini?
"Mati! Mati! Mati! Mati! Mati!" ulangnya lagi seolah belum cukup menakutiku.
Kenapa dia ingin sekali aku mati? Apa aku pernah membuat kesalahan besar untuknya? Apa mungkin ... dia ingin membalas dendam karena aku anak seorang pembunuh? Apa dia keluarga salah-satu korban? Namun, kenapa harus aku sasarannya? Kenapa harus hari ini setelah tadi siang aku diguncangkan dengan tuduhan sebagai pembunuh? Kenapa semua hal tak menyenangkan datang di waktu bersamaan? Kenapa? Aku ingin jeda.
Orang itu kini berjalan di depanku. Tubuhnya terbalut hoodie hitam, wajahnya tertutup masker hitam, tambah topi di kepalanya. Serba hitam. Postur tubuhnya, suaranya, aku yakin aku mengenalinya. Tetapi, seperti ada gelengan dalam diriku dan mengatakan tidak mungkin.