Sungai mengalir deras di bawah. Aku berlari di atas jembatan kayu tak berujung. Cemas, terus berlari dalam rasa itu. Seperti ada sesuatu yang mengejarku dan bila berhenti walau satu detik saja maka bahaya akan menimpaku. Sekalipun kaki ini sudah lelah, tak terhentikan. Ujung yang tak juga kutemukan.
"Anak pembunuh! Anak pembunuh!"
"Monster gila!"
"Pergilah ke neraka psikopat!"
"Emang ya, buah itu jatuh gak jauh dari pohonnya."
"Jangan bikin gue malu gara-gara satu sekolah sama pembunuh!"
"Menyedihkan."
"Mati! Mati! Mati!"
"Gak salah lagi, dia punya darah psikopat."
"Menakutkan sekali. Gue gak nyangka."
"Beneran kan gue bilang? Dia itu memang monster. Sama kayak ayahnya!"
"Gila! Dasar psikopat gila!"
Suara-suara itu sangat berisik. Tidak tahu jelasnya seperti apa, kadang terdengar dari dalam kepalaku dan kadang membisik di telinga. Tidak ada jeda. Terulang lagi. Ribut sekali.
"Tolong berhentilah!" teriakku keras. Aku bisa gila jika terus diusik dengan suara-suara menyebalkan itu. "Tolong jangan meneriakiku lagi!"
Malah diteruskan. Sampai aku tersandung dan terjatuh dengan posisi terduduk. Aku mengusap rambutku frustrasi. "Tolong berhentilah!" teriakku lagi. Sampai-sampai air mataku luruh, aku menjadi cengeng.
Tiba-tiba, sepasang tangan menutup telingaku. Seketika suara-suara itu menghilang. Sang empunya tangan itu Kak Arven, dia berjongkok di depanku dan tersenyum tulus padaku. Matanya menyorot teduh, seperti biasa.
"Jangan didengerin kalo itu nyakitin kamu," ucapnya lembut dan berhasil menenangkanku.
Tak tahu alasannya, tapi rasanya aku sangat merindukannya seolah-olah tidak bertemu selama bertahun-tahun. Jika tadi air mataku turun karena ketakutan atau sedih, sekarang lebih merujuk pada bahagia atau kelegaan.
"Ayo, kita pergi dari sini." Kak Arven bangkit dari jongkoknya, kemudian menarik tanganku pelan agar ikut berdiri.
"Mau ke mana?" tanyaku.
"Ke tempat yang indah," jawabnya.
Tangan kami saling bertautan, berjalan bersisian di atas jembatan tersebut. Aneh, saat sendiri ujungnya tak kutemukan. Bersama Kak Arven langsung ada. Kami disambut taman yang ditumbuhi banyak bunga warna-warni. Ada mawar, melati, bahkan tulip dan lainnya.
"Ada sesuatu yang mau aku tunjuki," ujar Kak Arven.