"Kembalilah," katanya lirih.
Alam bak berganti, mataku terbuka, dan samar-samar mendapati ruangan serba putih. Tak lama, wajah Ibu muncul di dekatku, dia seperti menangis haru.
"Makasih udah bangun, Nak," lirihnya. "Makasih udah kembali."
Kembali? Maksudnya apa? Tak lama, Ibu pergi keluar dari ruangan ini, dan baliknya bersama dokter serta seorang perawat. Dokter memeriksa tubuhku yang melekat selang-selang, entah apa namanya aku tidak tahu. Tubuhku terbaring, tanganku terasa kaku, sulit digerakkan. Aku tampak seperti orang yang sedang sakit parah di rumah sakit. Apa mungkin aku memang sedang sakit parah?
Betul, aku ingat. Malam itu Kak Ardino menusuk perutku. Kemudian aku bermimpi bertemu Kak Arven, dan kegelapan pun menyelubungiku. Pikirku nyawaku sudah tak lagi di tubuh ini. Ternyata, aku masih hidup dan malah terbaring di sini.
Dokter keluar dari ruangan ini setelah berbicara dengan Ibu. Kepalaku agak miring untuk melihat Ibu yang tangan kirinya ditauti oleh jari-jemari kecilnya Luna.
"Hari, ini, ha, hari apa?" tanyaku susah payah. Terdengar agak serak.
Mata Ibu berkaca-kaca. Dia menjawabku, "Hari ini hari Senin. Tepat hari kesembilan kamu koma. Sekarang udah sore."
Ternyata benar, aku koma. Dan sembilan hari? Jadi, seperti itukah rasanya? Sebelumnya aku hanya mendengar cerita orang lain tentang koma, antara hidup dan mati. Lalu aku yang beruntung berhasil melewatinya.
Tidak terduga, Ibu mencium dahiku. Setelah itu, dia menangis haru lagi. "Makasih udah bangun, Sayang. Maafin Ibu karena gak pernah peduli sama kamu. Maaf karena udah nampar kamu hari itu. Ibu gak sadar kalo kamu punya banyak beban kayak ini. Maaf, Nak. Maaf selama ini Ibu kurang perhatian. Pas kamu tidur menanggung sakit di sini, Ibu sadar, kalo kamu sangat berharga. Maaf ya, Nak."
Ternyata ada hikmah juga atas kejadian yang menimpaku. Ibu jadi sadar, dan mencium dahiku untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Aku menyeka air mata Ibu dengan mata yang mulai buram juga. Aku terenyuh kala dia mengucapkan kata 'maaf' berkali-kali.
"Adara sayang Ibu, selalu maafin Ibu." Aku tersenyum padanya.
"Makasih, Sayang." Ibu mencium tanganku yang terinfus. "Mulai sekarang, Ibu akan jagain kamu. Kalo kamu ingin cerita tentang hari-hari yang berat, kamu bisa curhat ke Ibu. Ibu bakalan dengerin keluh kesah kamu, Nak."
"Baik, Bu. Makasih."
"Oh iya, Ibu lupa sesuatu."
Ibu mengambil ponselnya di nakas. Sepertinya hendak menelepon seseorang.
"Luna, jagain kakak kamu sebentar, ya?" Ibu berucap demikian pada Luna. Lalu dia keluar dari ruangan ini.
Luna berdiri di dekat tempat aku terbaring, dia menatapku malu-malu. "Kakak udah bangun? Nanti Luna kasih pelmen ya?" kata Luna dengan logat menggemaskannya. Terharu melihat ini, aku mengangguk.
"Makasih, Luna."
"Sama-sama, Kak."
Luna kemudian duduk di atas sofa panjang yang jaraknya tidak terlalu jauh dariku. Sepertinya ini ruangan VIP.