Sekarang sudah jam delapan pagi lewat. Aku ditinggal sendirian di ruangan ini, Ibu pulang sebentar. Terharu, sebab dia tidak pergi mengajar hari ini hanya karena ingin menjagaku. Aku mengambil ponsel baruku di atas nakas. Benar, baru. Soalnya ponselku dulu sudah dirusak Kak Ardino. Jadi, semalam ayah tiriku membelikan yang baru untukku. Ayah tiriku juga mulai bersikap hangat padaku, menganggapku seperti anak kandungnya sendiri. Syukurlah.
Aku meminta nomor WhatsApp Fidelya di Instagram. Lalu dia kembali memasukkan nomor baruku ke dalam grup kelas. Senyumku tersungging, teman-teman sekelasku meminta maaf karena sudah bersikap buruk padaku. Mereka senang mendengar aku sudah bangun. Mereka juga berniat menjengukku nanti sepulang sekolah.
Sangsi, antara meminta atau tidak nomornya Kak Arven pada Fidelya. Akhirnya tidak kulakukan, ini yang terbaik. Ponsel kembali kutaruh ke atas nakas. Kenop pintu yang bergerak mencuri atensiku. Apalagi yang muncul adalah mamanya Kak Arven. Jantungku langsung berdebar kencang. Kuubah posisi menjadi terduduk. Mamanya Kak Arven duduk di kursi dekatku setelah menaruh buah-buahan yang dia bawa ke atas nakas, dia tersenyum hangat, aneh sekali.
"Kamu pasti heran kenapa saya ke sini." Mama Kak Arven berucap seolah-olah bisa membaca pikiranku. Balasanku hanyalah senyum kikuk.
"Pagi pas kejadian yang menimpa kamu itu saya lihat Arven pulang ke rumah dalam keadaan acak-acakan. Tak ada semangat di wajahnya. Itu terus berlanjut, sampai saya tahu kalo kamu koma. Arven jadi jarang senyum, banyak diam, kalo lagi sarapan asyik ngelamun aja. Terus dia sering pulang larut malam, pas saya cari tau ternyata dia ke sini buat lihat kamu. Saat itu saya sadar kalo anak saya sangat sayang sama kamu. Saya jadi nyesal udah minta kamu jauhin dia. Jadi, saya ke sini buat tarik kembali ucapan saya." Mama Kak Arven mengusap rambutku pelan. "Kamu gadis manis yang bisa bikin anak saya semangat. Dekat lagi sama dia, ya."
Deg! Ini nyatakan? Mama Kak Arven sudah memberi lampu hijau untukku setelah memintaku menjauhi putranya? Miracle. Aku sangat-sangat senang. Rasanya seperti mimpi saja.
"Tante serius?" Aku hendak memastikan.
Anggukan kudapatkan, juga senyum yang senantiasa terlukis darinya. "Asalkan jangan sakiti hati anak saya, ya."
"Makasih, Tan."
Setelah pembicaraan singkat kami, dia pamit pulang. Tak henti-hentinya aku tersenyum. Hendak men-DM Kak Arven di Instagram, namun tidak jadi. Aku ingin bicara langsung dengannya. Juga akan menunggu kedatangannya.
Menunggu sampai hari sudah lewat siang, dan teman-teman sekelasku sudah datang menjenguk. Tapi, Kak Arven tidak tampak-tampak batang hidungnya. Yang datang lagi malah Kak Fabian dan Fidelya. Sepertinya Kak Fabian juga sudah mendapat lampu hijau dari Fidelya, melihat mereka yang tambah dekat. Aku bertanya kenapa Kak Arven tidak datang lagi, kata mereka Kak Arven terlalu sibuk belajar. Kak Arven juga bilang ke mereka kalau dia benar-benar mau fokus belajar untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Padahal ini baru semester ganjil, tapi dia sudah sangat mempersiapkan diri. Tapi, itu baguslah.
***
Beberapa hari kemudian, keadaanku sudah sangat baik. Aku juga sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Namun, Ibu belum memberiku izin untuk pergi sekolah. Katanya aku harus benar-benar istirahat. Hari sudah sore, langit dipenuhi awan gelap. Aku berdiri di halaman rumah, antara pot-pot bunga milik Ibu. Melihat mawar, mengingatkanku pada Kak Arven. Ingat pada mimpiku ketika koma.
Omong-omong, tentang Kak Arven, sejak hari pertama aku bangun, aku tidak pernah melihatnya lagi. Setelah mamanya menemuiku, aku juga tidak mengambil tindakan untuk menghubunginya. Dia pikir aku masih ingin dia menjauhiku. Selain itu, tidak mau mengganggunya yang katanya sibuk belajar. Meski demikian, aku sangat merindukannya.
Tiba-tiba hujan turun, tidak terlalu deras. Aku mengangkat tanganku untuk menutupi kepalaku, walaupun sebenarnya tidak terlalu berfungsi. Tidak berniat masuk ke rumah, ingin berteduh di gazebo saja. Namun, baru tiga langkah, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang di hadapanku yang tangan kirinya memegangi payung yang kini juga menaungiku.
Jangan tanya lagi, itu dia, orang yang selalu membuat jantungku menggila. Betul, Kak Arven. Saat ini kami ada di bawah payung yang sama, dalam jarak yang sangat dekat. Dia menyodorkan buket bunga mawar merah padaku, kuterima.
"Aku mau bilang sesuatu sama kamu. Kamu cukup dengar aja. Ini tentang kata 'rahasia' itu," ujarnya sambil menatapku teduh.
Dia membuatku kesulitan bernapas. Detak jantungku bertambah gila.