Persidangan atas percobaan pembunuhan padaku yang dilakukan oleh terdakwa—I mean Kak Ardino—sudah dimulai. Tugasku hanya menjawab apa yang ditanyakan dengan jujur. Sesekali aku menatap ke arah Kak Ardino sebelum menjawab pertanyaan. Dia tampak menakutkan. Tentang bagaimana dia menyiksaku malam itu, kembali terbayang dengan jelas dalam otakku. Ketika hakim sudah mengetuk palu, aku bernapas lega. Persidangan telah selesai. Segera ingin pergi dari sana. Tanganku sampai berkeringat.
Jujur, lama-lama berada dalam ruangan yang sama dengan Kak Ardino sangat tidak baik untukku. Merasa tertekan. Kak Arven menepuk-nepuk pundakku ketika kami sudah ada di luar ruang sidang. Kak Arven, Kak Fabian, dan Kak Elvan juga ikut menyaksikan.
"Tante, Adara sama saya dulu ya. Saya bakalan jagain dia," ucap Kak Arven ke Ibu yang berdiri di sebelah suaminya.
"Oke, benar-benar jagain dia ya. Kalo begitu saya duluan," ujar Ibu kemudian pergi setelah memelukku sesaat.
"Kami duluan juga, ya?" ucap Kak Elvan.
"Dadah Arven. Pacarnya dijaga ya? Kalo hilang lagi nanti gue yang susah nenangin lo yang nangis terus." Kak Fabian terkekeh di akhir kalimatnya.
"Cih." Kak Arven menjitak kepala Kak Fabian karena ucapan temannya itu terdengar seperti ejekan.
"Dadah Adara! Hati-hati, Arven bisa lebih bahaya kalo kalian berdua aja, hehe." Setelah itu Kak Fabian segera kabur agar tidak dihadiahi jitakan lagi.
Sekarang, tinggallah aku dengan Kak Arven. Sampai sekarang, aku masih kurang percaya kalau kami berpacaran. Rasanya sangat mendebarkan dan menyenangkan.
"Kak, aku mau ke toilet dulu, ya?"
Kak Arven mengangguk. "Tapi aku ikut."
Aku membelalakkan mataku. Dia mau ikut? Ambigu. "Eh, ngapain ikut? Kak Arven tunggu di sini aja."
Kak Arven menggeleng. "Maksudnya, aku ikut ke sana dan tungguin di depan pintu. Gak masuk juga kali. Kamu mikirnya aneh ih." Kak Arven mencubit hidungku. Jadi malu sendiri aku.
Aku mencari letak toilet perempuan, setelah menemukannya aku masuk ke sana. Kak Arven betul-betul menungguku di luar, tidak tepat di depan pintu juga, nanti dikira dia cabul. Ketika aku selesai, masih di salah satu bilik toilet, tiba-tiba lampu mati. Tidak terlalu gelap, namun tanganku bergetar. Ingatan tentang malam itu terbayang lagi. Napasku memburu. Sebab itu aku buru-buru keluar dari tempat ini.
"Kamu kenapa?"
Begitu sampai di depan Kak Arven, langsung ditanyai seperti itu. Dia peka. Mungkin kentara di wajahku. Pertanyaannya belum terjawab, karena aku menetralkan napas lebih dulu.
"Di tempat lain aja aku cerita, Kak. Tempat yang lebih nyaman."
Dia mengangguk. Menggiringku keluar dari sana. Masuk ke mobilnya, baru aku bercerita padanya. Tampak sedang berpikir beberapa saat, tangan Kak Arven mengetuk-ngetuk setir.
"Kayaknya kamu nunjukin gejala trauma gelap deh. Aku punya bibi seorang psikiater. Dia kayaknya bakalan punya solusi buat atasi gejala trauma kamu. Dia lebih paham hal-hal seperti itu. Jadi, kamu mau gak ketemu sama dia?" tawar Kak Arven.
Sepertinya tidak salah juga. Jika itu bisa membantuku, kenapa tidak? Pasalnya saat di rumah, di tempat yang gelap aku juga mulai terbayang peristiwa itu, ketakutan. "Boleh, Kak. Kalo itu ngebantu, aku mau."
Kak Arven mengusap lembut rambutku. Dia tersenyum manis, aku sangat suka. "Oke. Nanti malam kita ke rumah bibiku. Oh iya, kamu jangan lupa ya!"
"Lupa apa, Kak?" heranku.