Pagi Senin. Senyum mengulas di wajah ini. Seragam putih abu-abu sudah melekat di tubuhku. Hari ini aku kembali berangkat sekolah setelah belasan hari lamanya tidak.
Sekarang aku percaya, setiap ujian hidup yang diberikan oleh Tuhan itu ada hikmah kemudiannya. Kualaminya, bahkan sekarang juga. Bisa merasakan kehangatan di meja makan bersama Ibu, ayah tiriku, dan Luna. Jika sebelum kejadian itu, kehadiranku seperti tidak dianggap. Tapi sekarang, Ibu juga sangat perhatian padaku. Selain itu, Luna mulai dekat denganku. Jika ayahnya membeli es krim atau permen lebih, dia pasti memberiku satu.
"Kamu berangkat sama siapa?" Ibu bertanya ketika aku masih menyantap sarapanku.
"Sama Kak Arven, Bu."
Ibu sedang menyuapi Luna. "Anak Ibu udah gede sekarang, ya. Gak nyangka."
Aku hanya terkekeh. Selesai dengan sarapanku, aku berpamitan. Kak Arven belum tiba, jadi aku duduk di gazebo, menunggunya. Baru dua detik aku memegang ponselku, layar langsung menyala dan muncul nama; Kak Arvenš¤
Senyum tertahan, aku menerimanya. "Halo, ini dengan Adara."
"Hai, ini dengan Arven. Pasti sedang menunggu saya kan, Mbak?" tebaknya dari seberang sana.
Aku mengangguk, meskipun dia tidak bisa melihatnya, refleks.
"Kok tau, ya? Jangan-jangan Anda cenayang, ya?" candaku sambil memainkan ujung seragamku.
"Gaklah, saya kan jodohnya Mbak, hehe." Terdengar tawa kecilnya Kak Arven. "Tunggu ya, sebentar lagi saya sampai. Saya tutup ya, mine."
"Okeh. Cepetan! Hari ini hari Senin, upacara."
"Siap, mine. Segera meluncur ke sana. Lagian rumah kita sangat dekat. Kamu lupa?"
"Enggak kok."
"Ya udah, aku tutup ya."
"Oke."
Sambungan telepon kami pun terputus. Bukan waktu yang panjang, sebentar tepatnya. Dia sudah sampai bersama motornya. Bagaikan kebiasaan, ketika bertemu denganku dia selalu mengawali dengan senyum manisnya. Kak Arven membuat gestur agar aku mendekat. Kala hendak mengambil helm darinya, keduluan, dia yang memasangkan itu di kepalaku.
"Makasih," ujarku.
Kak Arven membalasku dengan senyumnya. Kentara semangat di wajahnya, menularkan itu padaku. Lagi-lagi aku tidak menyangka, kalau sekarang dia adalah pacarku. Rasanya sangat membahagiakan. Dia selalu mampu menimpa kesedihanku dengan kebahagiaan. Syukur sekali mengenalnya.