"Aksi pembunuhan terhadap pria paruh baya..."
Tanpa melihat tulisan yang ada di TV, aku langsung tahu ke mana arah pembicaraan reporter itu. Niat untuk menghibur diri, tak sengaja berhenti di saluran televisi yang sedang menayangkan berita tersebut. Bertahan menontonnya hanya akan membuat dadaku semakin sesak. Membuat air mataku ingin luruh lagi, padahal kemarin tak terhingga aku menangis.
Duduk di sofa ruang tengah, sendirian. Gadis yang malang. Memangnya dengan siapa lagi? Seterusnya aku akan selalu sendirian di rumah ini, rumah di mana tempat kejadian perkara kasus pembunuhan itu tempo hari. Tepatnya di belakang rumahku. Dan coba tebak, siapa pembunuhnya? Jawabannya, satu-satunya keluargaku yang tinggal bersamaku. Benar, itu ayahku. Setelah para detektif kepolisian mengorek, itu adalah korbannya yang keempat. Ayah membunuh empat orang! Tapi, kenapa ayahku? Kenapa dia seperti itu?
Malam itu, jam sudah menunjukkan pukul 02.15 pagi. Aku ingat, setelah ketukan keras di pintu rumahku membangunkanku dari tidur nyenyak, kusempat melirik jam di dinding bercat biru laut kamarku. Tidak perlu bertanya siapa itu. Bukan orang iseng, bukan hantu yang hendak menakuti, dan juga bukan orang yang ingin meneror. Tetapi, itu Ayah yang baru saja pulang. Aku mulai menebak-nebak. Apakah dia pulang dalam keadaan mabuk? Atau ... dia akan mengumpat sebab tidak menang dalam permainannya karena mempertaruhkan uangnya yang memang tidak banyak itu?
Sebenarnya aku lelah juga dengannya yang seperti itu. Ketika pulang sekolah harus mendengar para tetangga yang sengaja membicarakan tabiat Ayah di depanku. Apalagi yang bisa kubuat selain diam saja? Pernah aku mencoba menasihatinya dan mengatakan itu dosa, aku malah ditamparnya.
Jika kalian bertanya apakah aku lelah, maka aku akan menjawab iya. Aku lelah dengannya yang tak pernah berubah. Mungkin itulah alasan Ibu berpisah dengannya, meninggalkanku, dan hidup bersama keluarga barunya dengan bahagia.