Hari ini adalah Senin ketiga aku duduk di bangku kelas sebelas SMA. Setelah empat hari tidak masuk sekolah karena kejadian itu, hari ini aku memutuskan untuk hadir. Perihal tentang Ayah yang membunuh orang tampaknya sudah menyebar di seluruh penjuru sekolah. Ketika melewati kerumunan, kebanyakan pasang mata menatapku tajam, juga penuh kebencian. Yang melakukan itu ayahku, tapi kenapa mereka membenciku?
Hal yang sama juga kudapati ketika memasuki kelas yang sudah ramai. Teman sebangkuku, yang merupakan sahabatku juga menjauh, dia pindah tempat duduk. Jumlah siswa-siswi di kelas ini genap, jika dia tidak mau duduk denganku berarti aku akan duduk sendiri. Begitupun dengannya.
Mejaku ada di bagian paling belakang. Tetapi, hari ini aku dipaksa duduk di paling depan dekat jendela. Mereka takut kalau sewaktu-waktu aku akan menyerang mereka dari belakang, jadi cari aman aku dipaksa duduk di depan. Pemikiran mereka yang salah benar-benar menyakitiku. Mereka pikir aku sama? Tidak. Aku tidak sama. Aku berbeda. Kenapa tidak ada yang mengerti? Yang mereka lakukan kepadaku itu jahat.
Rasanya, seperti harus membangun tameng kuat dalam hati, agar tahan dengan cacian kejam itu. Selama proses belajar mengajar, sang guru juga menyinggungku secara halus. Tampaknya bukan hanya siswa-siswi, para guru juga tak lagi suka padaku. Gara-gara Ayah, ke mana pun aku pergi, sekalipun itu ke ujung Amerika atau ujung Afrika, label sebagai anak pembunuh menjadi sesuatu yang tidak bisa terhapus. Menyedihkan.
Bel istirahat berbunyi. Sebelum isi kelas ini pada keluar, aku mengungkapkan rasa keberatanku di depan papan tulis. "Kenapa kalian kayak gini ke gue? Kita sekelas dari kelas sepuluh. Tapi, kenapa sekarang kalian malah ngehina gue? Gue tau yang dilakukan ayah gue salah. Kalian salah juga kalo ngejauhin gue kayak gini!" keluhku.
"Kenapa juga kami harus berteman dengan anak pembunuh berantai kayak lo?!" Rina, si wakil kelas balik bertanya.
"Iya, lo pindah kelas aja sana! Kami malu sekelas sama lo!" Sahut yang lainnya.
Aku tak menimpali lagi. Jawaban itu sudah cukup melukai perasaanku. Yang bisa kulakukan hanyalah menunduk hingga satu per satu teman sekelasku keluar, meninggalkanku sendiri. Tak ada lagi yang mengajakku ke kantin bersama. Tak ada lagi yang mau berteman denganku. Lara mengerumuniku.
Sekarang aku tak tahu ke mana langkah ini membawaku. Tanpa tujuan. Jika ke kantin yang ramai itu, aku malah menjadi pusat perhatian lagi. Aku tak mau menjadikan diriku sebagai objek ejekan. Di tengah jalan, tidak sengaja bertemu dengan Rina dan kedua temannya—Eka dan Ririn—yang juga sekelas denganku, tapi tak pernah dekat.
Aneh. Pasalnya Rina malah tersenyum padaku. Beberapa menit yang lalu dia mengatakan tidak mau berteman denganku, tapi mengapa sekarang dia memotong jarak denganku?
"Adara, tadi wali kelas kita minta buat ambil sesuatu di gudang sekolah. Temenin kami, yuk!" ajaknya dengan senyum ramah. Seolah lupa apa yang terjadi beberapa saat yang lalu di kelas.
Aku sangsi, tidak langsung mengiyakan. Ini adalah suasana yang membingungkan.
"Gimana? Mau gak?" Rina bertanya lagi. "Ayo!"
Aku mengangguk. Mana tahu nanti mereka kembali mau berteman denganku. Ini kesempatan namanya. Sesampainya di gudang, bagaimana Rina menutup pintu dan tertawa bersama kedua temannya membuatku merutuki diriku sendiri. Bodoh! Kepercayaan yang dibalas kebohongan.
PLAK!