Canggung, begitulah suasana meja makan malam ini. Bukan malam ini saja, bisa jadi sejak kedatanganku di tengah-tengah mereka. Tepatnya, dua hari setelah Ayah ditangkap, Ibu membawaku ke rumahnya. Ayah tiriku sepertinya kurang suka denganku. Pasalnya tak pernah wajahnya menyunggingkan senyum untukku. Tawa dan senyumnya akan terlihat jika aku sedang tak berada dalam pandangan dan jarak dekat dengannya.
Pernah tempo hari aku turun untuk minum segelas air di dapur dan melewati ruang keluarga, dia tersenyum bahkan bercanda bersama Ibu serta adik perempuan tiriku yang masih berumur empat tahun. Aku berjalan pelan agar tak mengusik kebahagiaan mereka. Karena itu aku jarang keluar kamar jika tak perlu.
Ibu juga seperti itu. Dia agak kurang peduli padaku. Rautnya seperti menunjukkan bahwa membawaku bersamanya adalah sebuah keterpaksaan. Seandainya rumah Ayah aman, barangkali tinggal di sana sendirian menjadi pilihanku.
Aku mempercepat makanku. Serius, berada dalam hening sekaligus canggung ini sangat tidak mengenakkan. Lebih cepat aku segera pergi saja. Masuk ke kamar, kutempati meja belajar. Sebenarnya mengantuk, tapi katanya tidur habis makan itu tidak baik. Membaca satu halaman buku paket tak ada salahnya. Menambah ilmu.
Mengingat besok hari Selasa, pergi ke sekolah tentunya, dan mimpi buruk harus kuhadapi lagi. Tanpa sengaja pandanganku menatap seragamku yang masih akan kukenakan esok hari tergantung di balik daun pintu. Kuberanjak, mengambil kertas yang mampu membangkitkan senyumku di sana.
AA. Sepertinya akan menjadi mimpi indah di tengah mimpi buruk.
***
Pergi ke kantin atau tidak? Bimbang. Aku mondar-mandir di kelas yang sudah kosong dari adanya manusia, kecuali tentu saja diriku sendiri. Bukannya pengecut. Aku semata-mata tidak mau menempatkan diri dalam hal-hal yang tidak diinginkan. Kantin ramai. Bagaimana kalau nanti aku menjadi pusat atensi mengibakan?
Aku lapar. Tadi pagi hanya sarapan sedikit. Tidak bisa mengesampingkan rasa ini, akhirnya tekad membawaku ke sana. Baru satu langkah aku memasuki wilayah kantin, beberapa pasang mata telah tertuju padaku. Dengan cepat aku berlari ke salah satu stand, membeli roti dan sebotol air mineral.
"Dia anak pembunuh berantai, kan?"
"Dia anak psikopat itu, kan?"
"Lo denger gak? Gimana sadisnya ayah dia ngebunuh orang."
Bisik-bisikan itu masuk dalam telingaku. Usai membeli apa yang kuinginkan, aku pergi dengan langkah terburu-buru. Hingga tak sengaja menabrak tubuh seorang siswi yang berjalan bergerombol dengan keempat temannya di lorong sekolah. Jika tak salah dia siswi kelas sebelas juga. Dia meringis. Aku meminta maaf. Bangkit berdiri, dia malah mendorongku ke tembok.
"Emang ya, buah itu jatuh gak jauh dari pohonnya." Dia melipat kedua tangannya di atas perut. "Lo anak psikopat itu, kan?"
"Dasar monster, pasti lo sama kayak ayah lo!" cibir salah satu temannya yang ada di belakangnya.
"Anak pembunuh! Anak pembunuh!" tambah temannya yang lain.
"Kenapa lo nabrak gue kayak tadi? Pasti lo mau celakain gue, kan?" Dia mulai memberi tuduhan. "Ayah dan anak sama aja!"