Depan rumah Ibu langsung jalan raya. Halte tempatku turun sekarang jaraknya sekitar lima belas meter dari gerbang rumahnya. Rumahku bersama Ayah dulu lebih kecil ketimbang rumah Ibu. Maklum saja, Ibu sekarang seorang pegawai negeri yang mengajar di SD dan ayah tiriku seorang dosen. Sedangkan Ayah adalah buruh lepas.
Halaman juga luas. Ada sebatang pohon mangga di depan rumah. Di bawahnya ada gazebo kayu yang nyaman untuk bersantai di sore hari. Langkahku sudah berada di perkarangan. Jalan setapak yang sengaja dibuat, diapit oleh pot-pot bunga yang bewarna putih. Bunganya pun berbeda-beda. Ada tiga pot berderet yang ditanami mawar merah muda. Sisanya aku tidak tahu namanya. Dua langkah di depanku, ada Luna—adik tiriku. Dia sedang berlari-lari kecil. Tak sengaja, dia terjatuh bersama boneka panda di tangannya.
"Kamu gak apa-apa?"
Aku mendekat. Membantunya bangun. Dia tidak menangis. Namun, ketika sadar yang membantunya adalah aku, tatapan takut terlihat di manik matanya. Dia cepat-cepat bangkit berdiri. Di teras, ada Ibu yang baru saja keluar dari rumah. Luna memeluk Ibu dengan rasa takutnya. Kenapa dia sampai takut padaku seperti itu? Apa aku tampak menyeramkan di matanya? Kenapa semuanya jadi berubah? Kenapa sekitar seperti tak berpihak padaku? Aku seperti diasingkan.
Di teras aku menyalami Ibu. "Tadi Luna jatuh," kataku.
"Iya," jawabnya cuek. Luna sudah dalam gendongannya.
Aku bergegas masuk ke dalam kamar. Dia ibuku. Dulu aku pernah berada dalam jarak yang sangat dekat dengannya, dalam kandungannya. Setelah kelahiranku, beberapa tahun juga begitu dekat. Seolah-olah aku satu-satunya harta berharga baginya. Tapi sekarang, seperti ada bentangan jarak di antara kami, menjauhkan.
Di rumah sana kamarku bercat biru laut, di sini warna krem dengan langit-langit cokelat kayu. Kasur di mana tubuhku terbaring sekarang pun lebih empuk. Ketimbang mengingat hal-hal menyedihkan, lebih baik yang membuat sudut bibirku tertarik saja. Seperti pertemuan dengan AA alias Kak Arven tadi. Itu lebih baik.
***
"Saya akan menulis kunci jawabannya di papan tulis. Kalian, masing-masing tukar buku tugas dengan teman sebangku. Tidak boleh periksa punya sendiri," ucap Bu Anisa, guru bahasa Indonesia.
Kulirik sebelahku, tak punya teman sebangku. Ketika aku mengambil ancang-ancang untuk mengangkat tanganku, duduknya seseorang di sebelahku menginterupsi.
"Tukar sama gue aja," ucapnya. Itu Fidelya, gadis tomboy yang berambut sebahu.
Mataku menatap ke belakang, semuanya kini melirik ke arahku dan Fidelya. Tempat duduk gadis itu telah diambil alih oleh teman sebangkuku dulu.
"Gak usah dipikirin. Mereka ribut banget." Fidelya mengambil buku tugasku, lalu menukar dengan miliknya. Aku mengangguk, sambil tersenyum padanya. Dia baik sekali.
"Mulai hari ini, gue duduk di sini. Gak apa-apa, kan?" tanyanya.