Sampah seperti botol bekas air mineral, bungkusan snack, tisu kotor, dan gelas plastik berserakan di atas meja. Oh iya, jangan lupakan bagaimana cipratan saus yang membentuk sebuah tulisan di mejaku dan Fidelya itu membuatku sadar, kalau ujian untukku masih berlanjut. Tak tahu kapan usai dan membuatku kembali damai. Kuhela napasku. Teman-teman sekelas hanya menatapku saja, seperti biasa.
Aku tahu jelas penyebab kekacauan di mejaku pagi ini. Jelas tertera di tulisan menggunakan saus itu; Jangan dekat-dekat dengan Kak Fabian dan Kak Arven. Dasar anak psikopat kecentilan!
Sudah jelas bukan? Pasti itu ulah fansnya si siswa populer yang menempati meja denganku tempo hari. Masih memiliki banyak waktu sebelum bel masuk berbunyi, tugasku sekarang adalah membersihkannya. Kakiku baru saja hendak melangkah, Fidelya yang baru tiba mendahuluiku. Dia memunguti sampah itu. Aku pun berkata padanya, "Gue aja. Lo gak perlu repot."
"Lo lupa? Gue semeja dengan lo. Dan juga, gue enggak ngelakuin ini karena lo. Tentu saja karena sampah ini juga kena meja gue," ucap Fidelya. "Kita bagi tugas. Gue bersihin sampah ini, lo ambil kain lap di kantor guru."
Aku mengangguk. Mengambil kain lap di kantor, juga tak lupa segayung air di toilet. Kutuangkan perlahan-lahan air di meja, kemudian mengelapnya. Masih lengket. Fidelya membantuku dengan tisu yang dibelinya. Setelah itu, kami berakhir di toilet, mencuci tangan di wastafel sana. Aku agak canggung dengannya. Bagaimanapun, kami tidak dekat. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di benakku.
Jadi, kuputuskan untuk bertanya padanya. "Kenapa lo mau duduk sama gue? Apa lo kasihan sama gue? Bukannya duduk sama gue malah bikin lo terganggu? Kayak barusan."
Fidelya malah tersenyum simpul mendengar ucapanku. Reaksi yang tidak kusangka sebelumnya. "Gue kasihan sama lo?"
Aku mengangguk. "Kalo lo kasihan ... lo gak perlu repot-repot deketin gue."
Fidelya menepuk pundakku. "Gue bukan kasihan sama lo. Gue tulus kok, jadi teman lo. Gue sama sekali enggak terganggu. Tau kenapa? Karena lo itu benar. Yang mereka lakuin itu salah. Cuma gara-gara ayah lo, lo jadi pusat rundungan mereka. Padahal yang salah itu ayah lo, dan lo enggak."
"Makasih," ucapku singkat. Karena hanya itu yang bisa kukatakan saat ini. Terima kasih yang tidak terhingga.
"Oke, gue duluan ke kelas, ya." Fidelya pun mendahuluiku ke kelas.
Meja kami di kelas masih sedikit lengket, untung saja guru tidak masuk kelas dan hanya memberi tugas, meringkas materi bab pertama buku paket. Kurang nyaman berada di sana, kuputuskan untuk mengerjakannya di perpustakaan saja. Pilihan tepat. Perpustakaan memang bukan tempat seramai kantin, lumrah. Ketika jam istirahat, pengunjung bisa dihitung jari. Karena sekarang adalah jam pelajaran, di perpustakaan hanya ada pengawas yang duduk di mejanya sambil membaca majalah pendidikan.
Di meja bundar itu, aku menempati yang paling ujung. Mulailah aku mengerjakan tugasku dengan damai. Sampai di paragraf kedua, seseorang yang menarik kursi di sebelahku menginterupsi. Seorang siswa kelas dua belas, jika tak salah.
"Gue boleh duduk di sebelah lo, kan?" tanyanya padaku setelah menyunggingkan senyum.
"Tentu saja," balasku pada siswa berambut cepak dan berkulit sawo matang itu.
"Lo Adara, kan?"