In Silence, In Darkness.

Wardatul Jannah
Chapter #6

05 - Cokelat

Tanganku bergetar. Jantungku menjadi sesak tiap kali menatap wajah Ayah yang datar itu. Kami dipisahkan kaca tebal berterali. Kemudian, di bagian bawah kaca ada lingkaran kecil bolong yang sengaja dibuat untuk memudahkan tahanan dengan pembesuk berkomunikasi. Sudah dua menit sejak aku duduk berhadapan dengan Ayah, tak ada satu pun dari kami yang mulai berbicara. Sedari tadi menunduk, kali ini kuangkat wajahku.

"Kenapa Ayah bunuh orang?" Pertanyaan yang belum sempat kutanyakan padanya. Pertanyaan yang menyiratkan laraku. Pertanyaan yang membuka pembicaraan kami. Mataku mulai berkaca-kaca menatap wajahnya.

Dia tersenyum mendengar pertanyaanku. Di wajah sangar itu, tak ada penyesalan yang tercetak. "Kamu datang ke sini hanya ingin bertanya itu?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Ayah menyulitkanku. Ayah membunuh empat orang. Ayah pembunuh berantai. Gara-gara Ayah, aku dihina, aku dirisak. Gara-gara Ayah, ke mana pun aku pergi, aku tetap anak seorang psikopat. Aku tidak bisa menghapus label itu dariku. Tidak akan! Hiks."

Tangisku pecah, seperti ada yang meremas hatiku. Kuutarakan semua protesku padanya, walaupun tak akan mengubah apa pun lagi. Waktu terus berjalan. Kututup mulutku dengan tanganku, ketika tak sengaja pandangan penjaga atau polisi yang mengawasi kami memandangku iba. Kutarik napas kuat-kuat, hingga itu memenuhi telingaku sekarang. Ayah diam saja, menatapku. Kuseka air mata ini, menyedihkan sekali, Ayah saja bersikap tak acuh pada tangisku.

"Udah selesai nangisnya?" tanyanya dengan nada menyebalkan.

"Kenapa Ayah bunuh mereka?" tanyaku dengan sisa air mata di wajah, belum kering atau habis kuseka.

"Mereka juga membunuh Ayah," jawabnya santai.

Aku mengernyitkan kening, tidak mengerti maksudnya. "Maksud Ayah apa? Jelas-jelas merekalah yang Ayah bunuh, sampai mereka meninggal."

Ayah mendekatkan wajahnya ke lingkaran kecil kaca tersebut. "Kamu mau tahu?"

Aku mengangguk. "Apa alasannya?!"

"Aku hanya menikam tubuh mereka dengan benda tajam. Sedangkan mereka, menikamku dengan ucapan mereka tepat di sini." Ayah menepuk dadanya, bermaksud hatinya. "Kamu tau, kan? Pernah dengar? Lidah adalah pedang. Ucapan mereka, menusuk hati Ayah. Jadi, berhati-hatilah menggunakan ucapanmu jika tak mau senjata bertindak!"

Usai berucap seperti itu, Ayah bangkit berdiri dan kembali ke tempat dia didekam. Padahal masih tersisa beberapa menit waktu besukku. Dengan perasaan berat, aku pun beranjak. Alasan Ayah membunuh hanya karena ucapan tajam, dia sangat berlebihan.

***

Aku pernah dengar, makan cokelat bisa mengusir galau atau stres dan menggantikannya dengan kebahagiaan. Selain sebab itu, mungkin karena aku memang menyukai cokelat. Sepulang bertemu Ayah, aku turun dari taksi di depan swalayan dekat rumah Ibu. Mungkin jaraknya sekitar satu kilometer. Niatku, besok tidak usah jajan di kantin. Kubeli cokelat yang banyak, untuk pasokan. Kemudian beberapa camilan. Untuk minum, aku bisa membawa air putih dalam tumbler dari rumah.

Ketika kasir menghitung belanjaanku dengan alat khusus yang kemudian harganya tertera di layar monitor, dua cokelat bertambah bersama sebotol minuman rasa jeruk.

"Sekalian ya, Mbak. Saya yang bayar."

Aku menoleh ke arah sumber suara. Kak Arven? Kenapa dia ada di sini? Ditengah keterkejutanku, dia menyunggingkan senyumnya. Kemudian dia menyerahkan uang kepada kasir.

"Kak, aku bisa bayar sendiri," protesku yang tak diindahkan olehnya.

Lihat selengkapnya